Jumat, 12 Desember 2025

KRITIK TAJAM AKADEMISI: PENGHITUNGAN KERUGIAN BENCANA ABAIKAN KERUSAKAN PERTANIAN DAN AKAR EKOLOGIS PENYEBAB BENCANA

Administrator - Senin, 08 Desember 2025 16:07 WIB
KRITIK TAJAM AKADEMISI: PENGHITUNGAN KERUGIAN BENCANA ABAIKAN KERUSAKAN PERTANIAN DAN AKAR EKOLOGIS PENYEBAB BENCANA
Istimewa

Medan– Metode kalkulasi kerusakan dan kerugian pascabencana yang digunakan pemerintah dinilai cacat mendasar, tidak hanya karena mengabaikan kehancuran sektor pertanian, tetapi juga karena gagal menghitung kerusakan ekologis yang justru menjadi akar penyebab bencana.
Kritik tersebut disampaikan secara tegas oleh Shohibul Anshor Siregar, akademisi dari FISIP UMSU Medan, menanggapi rilis data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dinilainya sempit dan tidak holistik.
"Data yang dirilis BNPB baru menyentuh kulit terluar, yaitu kerusakan infrastruktur fisik yang kasat mata. Sengaja ditenggelamkan adalah krisis sesungguhnya: hancurnya sawah, kebun, ternak, dan jaringan irigasi yang menjadi nadi kehidupan masyarakat di daerah terdampak," tegas Siregar dalam wawancara eksklusif, Senin.
Siregar merujuk pada pemberitaan sebelumnya, ketika BNPB menyebutkan nilai kerusakan minimal akibat bencana tertentu, namun perhitungannya didominasi rusaknya jalan, jembatan, dan fasilitas publik.
Analisis Baru: Paradigma Cacat, Hanya Hitung 'Akibat', Abaikan 'Penyebab Ekologis'
Siregar melangkah lebih jauh dengan mengkritik paradigma penilaian yang menurutnya terbelah dan tidak adil. "Dengan tega mereka merasa bahwa yang patut dihitung hanya sebatas kerugian akibat rumah longsor atau banjir bandang. Padahal kerusakan ekologis yang menyebabkan longsor dan banjir itu sendiri, seperti hilangnya fungsi hutan, degradasi lahan, dan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), sekan dianggap tidak pernah perlu dikuantifikasi sebagai 'kerugian'. Ini seperti menghitung biaya berobat orang yang keracunan, tetapi menutup mata terhadap pencemar yang meracuni sumurnya," paparnya.
Menurutnya, dengan tidak menghitung nilai kehilangan jasa ekosistem (seperti penyerapan air, pencegah erosi, penyeimbang iklim mikro), negara secara tidak langsung membiarkan (subsidi) perusakan lingkungan berlanjut. "Perhitungan yang parsial ini membuat rehabilitasi ekosistem selalu menjadi agenda sekunder, padahal itu adalah investasi utama untuk mencegah bencana berulang," tambah Siregar.
Menyoal Pertanggungjawaban Korporasi Ekstraktif dalam Demokrasi
Lebih tajam lagi, Siregar menyinggung soal keberanian politik dalam menelusuri sumber masalah. "Dalam negara demokrasi, adalah sebuah pantangan besar dan kemunduran beradab untuk menutup pintu investigasi atas pertanggungjawaban dari sumber masalah. Banyak bencana hidrometeorologis yang kita hadapi saat ini, seperti banjir dan longsor, tidak lepas dari ekspansi dan praktik bisnis korporasi ekstraktif, baik di sektor perkebunan, pertambangan, maupun kehutanan."
"Namun, dalam kalkulasi kerugian resmi, kerusakan yang diakibatkan oleh korporasi ini tidak pernah muncul sebagai 'liabilitas' yang harus mereka ganti. Biaya restorasi ekologi dan pemulihan sosial dibebankan sepenuhnya kepada negara (dan itu adalah uang rakyat), sedangkan keuntungan tak sah dari eksploitasi sumber daya diambil oleh segelintir pihak. Ini adalah bentuk subsidi terselubung dari rakyat kepada pelaku perusak lingkungan," tegasnya.
Mengapa Pertanian dan Ekologi Terabaikan?
Menurut Siregar, ada tiga masalah sistemik. Pertama, bias metodologi. "Tim assessor kerap hanya menghitung aset yang terdokumentasi secara administratif. Kebun warisan atau sawah tadah hujan yang tidak bersertifikat, serta sistem irigasi sederhana buatan masyarakat, dianggap 'tidak ada' dalam kalkulus resmi," paparnya.
Kedua, sikap memandang rendah sektor pertanian sebagai ekonomi subsisten. "Ini fatal. Kerusakan satu hektar sawah bukan hanya soal tanaman mati. Itu adalah pemutusan rantai ekonomi keluarga, ancaman kelaparan, dan hilangnya modal kerja untuk musim tanam berikutnya. Ini kerugian ekonomi berantai yang harusnya masuk dalam buku neraca bencana," kritiknya.
Ketiga, absensi partisipasi masyarakat. "Penilaian kerusakan dilakukan secara top-down dan cepat. Jarang ada mekanisme yang melibatkan petani dan peladang untuk mendokumentasikan sendiri kerugian mereka. Akibatnya, data yang masuk ke pusat sudah pincang sejak awal," tambah Siregar.
Infrastruktur Pertanian: Vital tapi Terlupakan
Siregar secara khusus menyoroti absennya penilaian terhadap infrastruktur pertanian. "Jalan usaha tani, embung, saluran tersier, bahkan tempat penyimpanan gabah, semua itu adalah infrastruktur kritis yang menentukan pulih tidaknya sebuah komunitas agraris pascabencana. Mengabaikan ini dalam perhitungan berarti program rehabilitasi akan gagal mengembalikan kehidupan ekonomi warga," ujarnya.
Dia memperkirakan, jika kerugian di sektor produktif dan kehilangan jasa ekosistem ini dimasukkan, angka total kerusakan dan kerugian (damage and loss) bisa berkali-kali lipat dari angka yang diumumkan BNPB.
Selain itu, jika hari ini satu keluarga kehilangan satu hektar kebun kopi yang diterjang longsong dan banjir, untuk menamam ulang dan budidaya komoditas yang sama diperlukan 3-5 tahun ke depan. Bukankah in9i kerugian diabaikan?
Dampak dan Tuntutan
Konsekuensinya, kata Siregar, adalah rekonstruksi yang timpang dan siklus bencana yang tak putus. "Kita hanya sibuk memunguti pecahan di hilir, sambil membiarkan kerusakan terus terjadi di hulu. Rakyat kecil dihitung kerugiannya secara sewenang-wenang, sementara korporasi perusak lepas dari tanggung jawab."
Oleh karena itu, Siregar mendesak:
1. Revisi Metodologi DaLA (Damage and Loss Assessment) BNPB dengan memasukkan indikator kerusakan ekologis penyebab bencana dan kerugian sektor produktif rakyat.
2. Audit Ekologis dan Penelusuran Hukum terhadap kontribusi korporasi ekstraktif dalam memicu kerentanan bencana di suatu wilayah.
3. Pelibatan aktif organisasi petani dan komunitas dalam proses pendataan kerusakan.
4. Transparansi publik terhadap metode penghitungan dan breakdown data kerugian per sektor.
5. Pengalokasian anggaran rekonstruksi yang proporsional untuk pemulihan mata pencaharian dan restorasi ekologi, dengan mekanisme 'pembayar ganti rugi' (polluter pays principle) yang menjerat korporasi perusak.red

Baca Juga:
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Pasca Bencana,Wabup Atika Nasution: Pemkab Madina Prioritaskan Keselamatan Warga
Bencana Sumatera: Kemanusiaan Di Atas Segala-galanya
Polda Sumut Terima Bantuan Kemanusiaan dari Polda Kep. Bangka Belitung dan Bhayangkari untuk Korban Bencana
Dampak Bencana di Sumatera Utara Meningkat Drastis, 463 Ribu Warga Terdampak — 343 Meninggal, 57 Hilang
Bareskrim Polri Jangan Gegabah Ambil Tindakan Soroti Satu Perusahaan, Pemerhati Tabagsel : Penghentian Operasional Jangan Dilupakan Dugaan Keterlibata
Polri Terus Berikan Bantuan Kemanusian Ke Korban Bencana Sumatera
komentar
beritaTerbaru