Baca Juga:
Tapanuli | Sumut24.co
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda delapan kabupaten/kota di Sumatera Utara pada Selasa (25/11/2025) menyisakan kerusakan besar.
Ribuan rumah rusak, puluhan desa terisolasi, dan gelombang kayu gelondongan dalam jumlah masif menyapu pemukiman warga.
Ratusan korban jiwa dilaporkan dalam bencana yang disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam sepuluh tahun terakhir.
Oleh karenanya, WALHI Sumatera Utara menyampaikan peringatan keras terkait kondisi Ekosistem Batang Toru yang dinilai berada pada fase darurat ekologis dan mengarah pada potensi ekosida.
Penilaian itu muncul setelah lembaga tersebut mengidentifikasi alih fungsi hutan seluas 10.795,31 hektare yang diduga berkaitan dengan aktivitas tujuh perusahaan di kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, mengatakan bahwa luasan bukaan hutan tersebut setara dengan sekitar 5,4 juta pohon yang hilang berdasarkan estimasi 500 pohon per hektare.
"Ini bukan lagi sekadar data, tetapi kondisi genting yang mengancam keselamatan ekologis dan masyarakat di hilir," ungkapnya, Jumat, (5/12/2025).
Rianda menegaskan bahwa pembukaan hutan dalam skala besar di Batang Toru tidak bisa dianggap sebagai konsekuensi normal pembangunan.
Menurutnya, perubahan tutupan hutan telah melemahkan fungsi hidrologis, mulai dari kemampuan tanah menahan air, menstabilkan lereng, hingga mengatur aliran permukaan.
"Begitu fungsi-fungsi itu menurun, curah hujan ekstrem mudah berubah menjadi banjir bandang dan longsor. Warga di bagian hilir selalu jadi korban pertama," katanya.
Rekapitulasi WALHI Sumut mencatat pembukaan lahan oleh:
1. PT Agincourt Resources: 646,08 ha
2. PT NSHE: ±330 ha
3. PT Sago: ±300 ha
4. PT SOL: ±125,23 ha
5. PT TPL (PKR): ±5.000 ha
6. PTPN III: 4.372,02 ha
7. PLTMH Pahae Julu: ±22,8 ha
Dari jumlah tersebut, PTPN III tercatat memiliki dua lokasi pembukaan terbesar: Kebun Batang Toru seluas ±1.949,2 ha dan Kebun Hapesong ±2.422,82 ha.
WALHI Sumut menyebut perhitungan pohon menggunakan pendekatan konservatif berdasarkan kerapatan vegetasi hutan tropis Indonesia. Estimasi ini diperkuat dengan kombinasi data terbuka, peta tematik, analisis citra, serta investigasi lapangan.
Lebih lanjut, Rianda mengungkapkan bahwa Batang Toru merupakan ekosistem penting bagi Sumatera Utara, bukan hanya bentang hutan biasa. Kawasan tersebut berperan sebagai penyangga tata air dan habitat spesies endemik seperti Orangutan Tapanuli, mamalia besar, hingga burung dan reptil khas Bukit Barisan.
"Pembukaan hutan tidak hanya menebang pohon, tapi memutus koridor satwa, mengganggu jelajah fauna, dan memicu konflik satwa dengan manusia," ujarnya.
Tak ketinggalan, Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu ikut mengomentari rangkaian banjir, longsor, dan pohon tumbang yang melanda wilayahnya.
Ia menilai aktivitas penebangan di bagian hulu memiliki kontribusi kuat terhadap bencana yang menelan banyak korban.
"Tiga bulan setelah terbit edaran penghentian sementara penebangan, izin itu diberikan kembali. Kami kembali melayangkan surat keberatan dan meminta penghentian total," jelasnya.
Sementara itu, PT Agincourt Resources (PTAR), pengelola tambang emas Martabe, menyatakan bahwa aktivitas mereka tidak berhubungan dengan banjir bandang di Tapanuli Tengah. Perusahaan menegaskan bahwa tambang beroperasi di DAS Aek Pahu, sementara lokasi bencana berada di DAS Aek Ngadol.
"Kami tidak menemukan material kayu di DAS Aek Pahu yang dapat dikaitkan dengan temuan di lokasi banjir," kata Katarina Siburian Hardono, Senior Manager Corporate Communications PTAR.
Menindaklanjuti adanya dugaan Illegal Logging, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjelaskan, tim investigasi gabungan menemukan berbagai jenis kayu yang terbawa arus, termasuk beberapa batang dengan bekas potongan chainsaw. Temuan itu kini tengah didalami.
"Saya sudah minta tim menyusuri DAS dari hulu ke hilir untuk memastikan sumber kayu dan potensi pelanggaran," katanya di Jakarta.
Menutup pernyataan, WALHI Sumut mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan audit komprehensif terhadap izin lingkungan seluruh perusahaan yang disebutkan dalam temuan mereka.
WALHI juga meminta sanksi tegas apabila terjadi pelanggaran serta pemulihan ekologis di area yang sudah terlanjur dibuka.
"Tanpa audit dan penegakan nyata, bencana ekologis di Tapanuli akan terus berulang, dan masyarakat akan terus berada di garis risiko," pungkas Rianda.zal
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News