Kamis, 10 Juli 2025

Presiden Teken PP 29/2025, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Bantuan Negara saat Restitusi Tak Terpenuhi

Administrator - Rabu, 09 Juli 2025 19:24 WIB
Presiden Teken PP 29/2025, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Bantuan Negara saat Restitusi Tak Terpenuhi
Presiden Teken PP 29/2025, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Bantuan Negara
saat Restitusi Tak Terpenuhi

Baca Juga:

Jakarta|Sumut24.co

Presiden Prabowo Subianto menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025
tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 18 Juni 2025.
Disahkannya PP ini menegaskan komitmen negara dalam memberikan kompensasi bagi
korban kekerasan seksual yang mengalami kerugian namun tidak mampu dipenuhi oleh pelaku
secara penuh.

Hadirnya PP tersebut melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU No 12/2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perlu menetapkan Peraturan Pemeritah tentang (Dana
Bantuan Korban), yakni kompensasi negara kepada korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Beleid tersebut memandatkan LPSK selaku Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk
mengelola penghimpunan, pengalokasian, dan pemanfaatan dana yang diperuntukkan bagi
korban TPKS yang diatur dalam aturan pemberian Dana Bantuan Korban.

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menegaskan bahwa PP ini merupakan langkah strategis
dalam memperkuat kehadiran negara bagi korban kekerasan seksual. Ia menyebut peraturan
ini menjadi pintu masuk hadirnya negara ketika ketika kerugian yang dialami korban tidak dapat
dipenuhi oleh pelaku.

"Ketika pelaku tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya, negara tidak boleh diam. Melalui
Dana Bantuan Korban, negara hadir melalui LPSK untuk menutup celah keadilan itu,
memastikan hak korban tidak hilang hanya karena keterbatasan pelaku. Implementasi PP ini
membuka jalan bagi negara untuk berperan aktif dalam pemulihan korban, bukan sekadar
menghukum pelaku," ujar Nurherwati.

Lebih lanjut, Sri Nurherwati juga menekankan bahwa implementasi PP Dana Bantuan Korban
ini memperjelas peran negara dalam proses pemulihan korban. Negara tidak hanya menunggu
restitusi dipenuhi pelaku, tetapi secara proaktif memastikan korban tetap mendapatkan haknya.

Namun demikian, Sri mengingatkan bahwa pengelolaan Dana Bantuan Korban membutuhkan
dukungan berbagai pihak. Menurutnya, peran semua stakeholder sangat krusial untuk
memastikan pengelolaan Dana Bantuan Korban berjalan optimal dan tepat sasaran. Dukungan
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah sangat penting untuk memperkuat layanan
perlindungan dan pemulihan korban.

"Namun tentu saja, kerja ini tidak bisa berjalan sendiri. Semua pemangku
kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, hingga sektor swasta—harus
bergerak bersama mendukung LPSK agar Dana Bantuan Korban benar-benar menjadi harapan nyata bagi korban yang membutuhkan," tegas Nurherwati.

Sumber pendanaan Dana Bantuan Korban (DBK) ini berasal dari berbagai pihak, mulai dari
filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, hingga
sumber lain yang sah dan tidak mengikat, serta dari anggaran negara sesuai peraturan yang
berlaku.

Dana bantuan korban diberikan dalam bentuk uang sebagai bentuk kompensasi konkret
terhadap kerugian yang dialami korban. Pengelolaan dana bantuan korban oleh LPSK meliputi
sejumlah tahap, yakni penghimpunan dana, peruntukan sesuai kebutuhan korban, hingga
pemanfaatan secara tepat sasaran. LPSK bertugas menyusun kebijakan umum pengelolaan
dana, melakukan pencarian dan penerimaan sumber dana, merancang rencana pemberian
bantuan, hingga menyalurkan dana dan menyusun laporan pertanggungjawaban secara
transparan.

Dalam pelaksanaannya, LPSK juga berkoordinasi dengan kementerian yang menangani
keuangan negara guna memastikan pengelolaan dana berjalan akuntabel dan sesuai regulasi
fiskal. Penghimpunan dana yang bersumber dari pihak-pihak non-pemerintah dilakukan melalui
mekanisme hibah yang sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dana bantuan korban diperuntukkan pertama-tama untuk menutup kekurangan pembayaran
restitusi oleh pelaku, sebagaimana telah diputuskan dalam pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Restitusi ini mencakup ganti kerugian materiil maupun immateriil yang dialami
korban atau ahli warisnya.

Proses pemberian Dana Bantuan Korban diawali dengan penghitungan kerugian korban oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berdasarkan hasil penghitungan itu, LPSK
menetapkan besaran restitusi yang wajib dibayarkan pelaku. Besaran ini kemudian
disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum sebagai bagian dari proses hukum agar
mendapatkan putusan pengadilan mengenai besaran restitusi yang harus dibayarkan terpidana
kepada korban atau ahli waris.

Negara melalui aparat penegak hukum akan terlebih dahulu menelusuri kemampuan pelaku,
termasuk melakukan penyitaan aset-aset yang dimiliki pelaku guna menutupi restitusi tersebut.
Namun jika hasil sita aset tidak mencukupi, maka negara hadir melalui Dana Bantuan Korban
untuk menutup kekurangan pembayaran restitusi tersebut. Dana ini hanya diberikan sebesar
selisih atau kekurangan yang tidak mampu dipenuhi pelaku, sehingga korban tetap memperoleh
haknya secara utuh.

Selain untuk kompensasi atas restitusi kurang bayar, dana bantuan korban juga dapat
digunakan untuk mendanai pemulihan korban. Pemulihan ini diberikan atas dasar permohonan
korban, keluarga korban, atau kuasanya, dan LPSK akan menelaah secara mendalam jenis
pemulihan yang dibutuhkan korban. Pemulihan dapat berupa rehabilitasi fisik, psikologis, sosial,
atau bantuan lain yang tidak termasuk dalam perhitungan restitusi. Penyaluran bantuan juga
mempertimbangkan sinergi program pemulihan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta ketersediaan dana.

PP ini juga menetapkan tenggat waktu yang jelas untuk pencairan hak korban. Dana
kompensasi restitusi wajib diberikan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak LPSK menerima
salinan putusan pengadilan. Untuk permohonan pendanaan pemulihan yang disetujui, dana
wajib disalurkan dalam waktu maksimal 30 hari sejak keputusan ditetapkan LPSK. Dalam hal
permohonan pemulihan, LPSK memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak
permohonan berdasarkan hasil telaah.

Dengan lahirnya PP 29 Tahun 2025 menjadi tonggak baru dalam sistem perlindungan korban
kekerasan seksual. Negara hadir tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai
pelindung hak-hak korban secara utuh, memberikan keadilan yang berperspektif pemulihan,bukan semata penghukuman pelaku.

(red)

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Amru Lubis
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Tingkatkan Kenyamanan dan Pengalaman Pelanggan
Mahasiswa UNPAB Ikuti Magang MBKM di Kantor Notaris Gloria Gita Putri Ginting
FOZ Sumut dan Pengembang Indonesia Sinergi Wujudkan Kepemilikan Rumah untuk Amil
Konser Lisvia "Song For Humanity 3.0", Inspirasi Kemanusiaan Melalui Sentuhan Seni
Mengusung Tema Kemanusiaan, Rotary Club Medan Talenta Siap Menggelar Konser Amal Lisvia Song For Humanity 3.0 2025
Sihar Sitorus Bawa Kabar Baik! Program Makan Bergizi Gratis Hadir di Tapanuli Selatan, Ini Target di Akhir Tahun
komentar
beritaTerbaru