Lagi-lagi, Sumatera Utara kembali jadi buah bibir di tingkat nasional. Sayangnya, bukan karena keberhasilan pembangunan atau prestasi gemilang. Lagi-lagi, berita tentang korupsi membuat daerah ini menonjol di mata publik.
Baca Juga:
Teranyar, Kepala Dinas PUPR Sumut, TOP, dkk ditangkap dalam operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapannya menambah daftar panjang pejabat Sumut yang tersandung perkara korupsi.
Dari gubernur, bupati, hingga kepala dinas—semuanya pernah mengenakan rompi oranye. Tak heran bila Sumut kerap disebut sebagai pelanggan tetap dalam drama OTT.
Kasus ini jelas bukan sekadar apes. Ia menandakan persoalan yang jauh lebih dalam: sistem birokrasi yang sakit. Prosedur pengadaan yang mudah dimanipulasi, birokrasi yang lebih mirip pasar gelap ketimbang lembaga pelayanan, serta lemahnya pengawasan internal—semua menciptakan ruang nyaman bagi perilaku koruptif.
OTT terhadap Topan bukan awal, dan tampaknya juga belum akan menjadi akhir.
Publik nyaris hapal pola peristiwanya: penangkapan mengejutkan, reaksi keras, lalu perlahan dilupakan. Setiap skandal hanya membuat riuh sejenak. Rompi oranye memang memalukan, tetapi tak cukup untuk mengubah sistem yang kebal terhadap malu.
Mesin korupsi terus hidup, bahkan ketika operatornya berganti-ganti.
Yang lebih menyedihkan, mereka yang ditangkap sering hanyalah pelaksana. Aktor intelektual di balik proyek—dari pemodal, tokoh partai, sampai broker kekuasaan—kerap luput dari hukum. Fenomena ini menegaskan bahwa pemberantasan korupsi baru menyentuh kulit. Akar persekongkolan anggaran dan proyek belum benar-benar digali.
Pasca-revisi UU KPK 2019, kewenangan lembaga ini memang dipangkas habis-habisan. Akses penyadapan dipersempit, independensi diganggu, investigasi dibatasi. Tapi OTT ini menunjukkan bahwa di tengah segala pembatasan, masih ada sisa taji-nyali di tubuh KPK. Pertanyaannya: cukupkah nyali itu untuk membongkar struktur korupsi yang makin sistemik?
Apalagi sektor infrastruktur, tempat TOP mengabdi, dikenal sebagai ladang basah. Sistem digital dan e-katalog pengadaan yang katanya transparan, nyatanya sering dijadikan kamuflase.
Bicara soal "fee proyek" 10–15 persen bukan lagi gosip. Itu sudah menjadi rahasia umum—terlalu sering terdengar untuk diabaikan, terlalu nyaman untuk dilawan.
Padahal, Sumut punya semua syarat untuk maju: sumber daya alam, posisi geografis strategis, dan kekuatan sosial-budaya yang besar. Tapi semua itu tak akan bermakna jika dikelola dengan mental korup. Alih-alih jadi pusat kemajuan, Sumut justru berisiko dikenal sebagai etalase parade siklus korupsi.
KPK sebenarnya masih punya alat untuk menggali kejahatan struktural ini. Namun, tanpa dukungan publik dan kemauan politik, upaya bersih-bersih hanya akan menjadi simbolis. Tanpa reformasi sistem pengadaan, pengawasan berlapis, dan perlindungan serius terhadap pelapor, korupsi akan terus selangkah lebih cepat dari hukum.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang ditangkap, tapi mengapa sistem ini tak kunjung diperbaiki? Jalan rusak dan proyek terbengkalai di Sumut tak cuma soal teknis—itu cermin dari kebobrokan tata kelola. Jika pembenahan hanya tambal sulam, maka Sumut akan terus jalan di tempat: jadi langganan OTT, tapi gagal bangkit!
Sudah waktunya Sumut bersuara lantang: cukup sudah! Yang harus dibongkar bukan cuma pelaku, tapi ekosistem yang membuat korupsi jadi kelaziman. Karena itu, dalam situasi seperti ini, kemarahan publik bukan hanya sah—melainkan mutlak diperlukan.(*)
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News