Sabtu, 28 Juni 2025

Ehics of Care: Pungli Polisi, Bukan Oknum, Tapi Sistem

Oleh : Farid Wajdi
Amru Lubis - Sabtu, 28 Juni 2025 16:27 WIB
Ehics of Care: Pungli Polisi, Bukan Oknum, Tapi Sistem
Dugaan praktik pungutan liar yang kembali mencoreng wajah institusi kepolisian di Medan bukan sekadar peristiwa biasa. Rekaman seorang oknum polisi lalu lintas yang diduga meminta Rp100 ribu kepada pengendara dan kemudian viral di media sosial, telah menyulut kembali bara kekecewaan publik yang tak pernah benar-benar padam. Peristiwa ini menjadi cermin buram dari krisis integritas yang kian dalam di tubuh penegak hukum.

Baca Juga:

Kepercayaan publik, yang semestinya menjadi fondasi legitimasi lembaga kepolisian, terus terkikis. Semboyan "melindungi, mengayomi, dan melayani" kini terdengar hampa di telinga sebagian masyarakat.

Sebab kenyataannya, masih ada aparat yang menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi, mempertegas adanya jurang antara idealisme institusi dan realitas di lapangan.

Yang lebih menyedihkan, praktik pungli semacam ini tak lagi mengejutkan. Ia telah dinormalisasi, bahkan dianggap bagian dari "biaya sosial" yang harus dibayar saat berurusan di jalan. Ketakutan, ketidakberdayaan, dan keengganan untuk melawan membuat masyarakat memilih diam, menerima, dan melanjutkan perjalanan—meski dengan perasaan dipermalukan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Namun, ada satu hal yang patut dicatat: era digital telah membuka kanal-kanal baru bagi kontrol sipil. Media sosial menjelma menjadi ruang koreksi publik, tempat di mana kamera ponsel menjadi saksi dan viralitas menjadi pemicu tekanan. Ini adalah bentuk perlawanan sipil yang diam-diam terus tumbuh—mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh lemahnya pengawasan internal dan impunitas struktural.

Tentu saja, satu kasus bukan akhir dari segalanya. Harapan terhadap polisi yang bersih dan profesional masih ada, tapi tidak bisa hanya dipertahankan dengan retorika.

Diperlukan langkah nyata. Pertama, penegakan hukum atas pelanggaran harus tegas, terbuka, dan berkeadilan. Bukan sekadar mutasi ke tempat khusus atau sanksi administratif, tetapi proses hukum yang memberi pesan kuat bahwa pelanggaran etik dan hukum tidak akan ditoleransi.

Kedua, reformasi kultural harus dilakukan secara serius—membangun kembali nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan semangat pelayanan yang sejati.

Perlu diingat, perilaku menyimpang oleh oknum aparat bukanlah semata-mata soal personal. Ia adalah gejala dari persoalan sistemik yang lebih luas. Selama budaya permisif tetap dibiarkan, dan perlindungan terhadap pelanggar lebih kuat daripada perlindungan terhadap rakyat, maka krisis kepercayaan ini akan terus berulang.

Namun selama masih ada masyarakat yang berani bersuara, media yang tetap kritis, dan segelintir aparat yang setia pada sumpahnya, harapan itu tidak akan padam. Yang diperlukan kini bukan sekadar perbaikan, tapi transformasi. Bukan hanya mengubah perilaku individu, tetapi membenahi akar-akar yang telah membusuk dalam sistem. Karena hanya dengan itulah publik bisa bermimpi kembali memiliki polisi yang benar-benar mengayomi, bukan menakuti.(*)


Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020


Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Amru Lubis
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Ethics of Care: Etika Pejabat Terkikis, Jabatan Disalahgunakan
Hari Raya Idul Adha 1445 H, T. Tinggi Sembelih 858 Hewan Qurban
JBMI Asahan Minta Bupati Tidak Tegas Serta Cabut Izin THM Langgar Aturan dan Visi Misi
Schneider Electric Luncurkan GoPact MCCB dan GoPact MTS untuk Segmen Retail, Komersial & Residensial
komentar
beritaTerbaru