Baca Juga:
MEDAN – Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dikenal dekat dengan Gubernur Bobby Nasution memunculkan beragam tafsir politik. Salah satunya datang dari pengamat sosial politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar, yang menilai peristiwa ini sebagai sinyal menurunnya pengaruh politik jaringan kekuasaan era Presiden Joko Widodo.
"Ini bukan hanya soal figur. Kita sedang menyaksikan perubahan peta kekuasaan yang kini lebih terfragmentasi dan kompetitif," ujar Shohibul saat dimintai tanggapannya oleh sejumlah jurnalis, Sabtu (29/6).
Meski putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, telah dilantik sebagai Wakil Presiden RI 2024–2029, Shohibul melihat bahwa pengaruh politik keluarga Jokowi tidak lagi sekuat saat sang ayah menjabat presiden. "Gibran menghadapi medan politik baru. Loyalitas politik tidak otomatis bersifat turun-temurun," ujarnya.
Era Prabowo dan Realitas Kekuasaan Baru
Menurut Shohibul, struktur kekuasaan nasional telah mengalami pergeseran signifikan sejak Prabowo Subianto memimpin pemerintahan. Ia menilai Presiden Prabowo membawa basis kekuasaan dan kultur politik yang berbeda, termasuk dalam distribusi jabatan strategis dan arah penegakan hukum.
"Koalisi berkuasa bukan jaminan bahwa jejaring kekuasaan masa lalu akan tetap aman dari jeratan hukum. Justru ini bisa jadi masa 'penyaringan ulang' terhadap siapa yang loyal terhadap kekuasaan baru," katanya.
Sumut, Blok Medan, dan Dinamika Lokal
Shohibul juga menyoroti bagaimana Sumatera Utara menjadi panggung strategis dalam percaturan politik nasional. Ia mengingatkan kembali soal istilah "Blok Medan" yang sempat mencuat dalam persidangan namun tak pernah benar-benar ditindak serius.
"Penegakan hukum selama ini sering tersandera tarik-menarik kepentingan politik," tegasnya.
Menurutnya, OTT terhadap pejabat yang dekat dengan Bobby Nasution—menantu Jokowi yang juga mantan Wali Kota Medan—menunjukkan bahwa realitas politik lokal tengah mengalami 'ujian keras' dalam konteks kekuasaan nasional yang baru.
"Basis kekuatan lokal yang dulunya nyaman di orbit Jokowi, kini menghadapi tekanan akibat erosi pengaruh politik tersebut," ucapnya.
Sorotan Isu Pribadi Melemahkan Simbolik Jokowi
Dalam kacamata Shohibul, penurunan pengaruh politik Jokowi juga dipengaruhi oleh sorotan publik terhadap isu-isu pribadi, termasuk kontroversi terkait dokumen pendidikan yang belum sepenuhnya dijernihkan.
"Meski tidak terbukti secara hukum, tapi sorotan publik terhadap isu itu telah memperlemah posisi simbolik Jokowi di mata elite dan masyarakat," jelasnya.
Gabungan dari semua faktor ini, menurut Shohibul, telah mengurangi daya dorong "efek ekor jas" Jokowi terhadap para loyalis politiknya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
"Dua periode kekuasaan Jokowi telah selesai. Kini realitas baru sedang terbentuk, dan tidak semua peninggalannya akan bertahan," pungkasnya.red2
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News