Minggu, 20 Juli 2025

Penegakan Hukum Runtuh, Negara pun di Ambang Kehancuran

Administrator - Sabtu, 19 Juli 2025 14:14 WIB
Penegakan Hukum Runtuh, Negara pun di Ambang Kehancuran
Istimewa

Oleh: H Syahrir Nasution

Baca Juga:

Apakah Republik Indonesia masih layak disebut sebagai negara hukum?

Pertanyaan ini kian mengemuka dalam percakapan masyarakat sipil di berbagai daerah. Bukan tanpa alasan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum di negeri ini tengah mengalami degradasi serius. Ketimpangan dalam proses hukum menjadi pemandangan sehari-hari. Hukum terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Elit politik dan ekonomi yang terlibat dalam berbagai skandal besar bisa dengan mudah menghindari jerat hukum, sementara rakyat kecil yang mencuri karena kelaparan langsung diseret ke meja hijau dan dipenjarakan.

Situasi ini menimbulkan kegelisahan yang mendalam. Banyak kalangan bertanya, apakah pemerintahan yang saat ini berkuasa benar-benar bekerja untuk rakyat, atau justru telah menjauh dari cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan sosial?

Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmennya untuk membela rakyat kecil. Retorika politiknya yang keras dan nasionalistik selama kampanye menyuarakan keberpihakan kepada wong cilik, petani, nelayan, hingga buruh kecil. Namun, setelah duduk di tampuk kekuasaan, janji-janji tersebut tampak masih jauh dari kenyataan. Rakyat masih menghadapi tekanan ekonomi yang berat, pelayanan publik yang tidak merata, dan hukum yang tidak berpihak pada keadilan.

Rakyat Semakin Terdesak

Kondisi rakyat di tataran bawah semakin memprihatinkan. Harga-harga kebutuhan pokok terus melambung. Tarif listrik, BBM, dan bahan pangan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat miskin dan kelas pekerja. Pengangguran terbuka di sejumlah daerah tinggi, sementara peluang usaha bagi sektor informal makin terhimpit oleh kebijakan yang lebih ramah pada pemodal besar.

Beban hidup itu bertambah dengan sulitnya akses keadilan. Bagi rakyat kecil, memperjuangkan hak di pengadilan membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu yang tak sedikit. Seringkali mereka menghadapi aparat yang tidak netral, atau proses hukum yang berbelit-belit dan melelahkan.

Rakyat tak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Mereka ingin hukum bekerja melindungi yang lemah, bukan hanya melayani yang kuat. Mereka ingin negara hadir sebagai pengayom, bukan sebagai penonton.

Namun, dalam kenyataan, negara terasa semakin menjauh dari rakyatnya. Lembaga-lembaga penegak hukum kehilangan wibawa di mata publik. Kasus-kasus besar yang menyeret nama-nama pejabat tinggi seringkali berakhir tanpa kejelasan. Penangkapan dan penahanan sering kali bersifat selektif, bahkan bernuansa politis. Hal ini memperparah krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ketika Hukum Kehilangan Makna

Negara hukum seharusnya meletakkan hukum sebagai panglima. Namun, dalam praktiknya, yang terjadi adalah komodifikasi hukum. Hukum diperdagangkan demi kepentingan kelompok tertentu. Uang dan kekuasaan menjadi penentu putusan. Dalam kondisi seperti ini, makna negara hukum telah berubah menjadi sekadar slogan kosong.

Jika penegakan hukum tidak lagi berlandaskan keadilan, maka negara tidak lebih dari entitas administratif yang kehilangan jiwa. Negara menjadi kering, mekanis, dan hanya berpihak pada mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Dalam kondisi ini, demokrasi pun kehilangan esensinya.

Lebih berbahaya lagi, kondisi ini bisa memicu resistensi sosial. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada hukum, maka mereka akan mencari keadilan melalui jalur di luar sistem. Ini bisa membuka jalan menuju anarki sosial dan ketidakstabilan nasional. Maka, runtuhnya penegakan hukum bukanlah persoalan teknis semata, melainkan ancaman serius terhadap keberlangsungan negara.

Kembali ke Jalan Lurus

Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi mendalam. Komitmen untuk menegakkan keadilan tidak boleh hanya menjadi narasi politik. Harus ada kemauan nyata untuk membenahi institusi hukum secara menyeluruh — mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pengawas seperti KPK. Reformasi birokrasi hukum harus dikembalikan pada rel idealisme dan integritas.

Presiden Prabowo Subianto memikul beban sejarah. Ia hadir dengan janji untuk membela kepentingan rakyat kecil. Maka, pembuktian paling utama dari kepemimpinannya bukanlah pada pembangunan fisik semata, tetapi pada keberaniannya menegakkan hukum secara adil, menyeluruh, dan tidak tebang pilih.

Jika keadilan masih menjadi barang mahal di negeri ini, maka kita patut khawatir: yang sedang runtuh bukan hanya sistem hukum, melainkan fondasi keberadaan negara itu sendiri.

H Syahrir Nasution adalah pemerhati sosial-politik, MANAGING DIRECTOR . PECI - Indonesia.


Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
24 Kabupaten/Kota Ikut Diklat Three in One Taekwondo Sumut
Sinergitas Kemitraan, JMSI Tabagsel dan Kejari Madina Bahas Pentingnya Transparansi Publik
Perang dan Krisis Geopolitik, Pengaruhnya terhadap Saham Global dan Domestik
KAJARI MADINA LAUNCHING APLIKASI “SIKIMAN” UNTUK PELAYANAN PUBLIK
Dilema Lahan Sawit Sitaan Negara di Padang Lawas: Masyarakat Cemas, BUMN Didesak Transparan
IFS Kembalikan Rp3,5 Miliar Kasus Korupsi Dana Desa 18% di Padangsidimpuan ke Kejati Sumut, Tapi Kerugian Negara Masih Rp6 Miliar
komentar
beritaTerbaru