Senin, 29 Desember 2025

Dugaan Pungli Rekomendasi Teknis APU dan SIPB Diduga Sistemik, Lingkungan Rusak dan Pajak Negara Bocor

Administrator - Senin, 29 Desember 2025 15:00 WIB
Dugaan Pungli Rekomendasi Teknis APU dan SIPB Diduga Sistemik, Lingkungan Rusak dan Pajak Negara Bocor
Istimewa
Baca Juga:

Medan — Proses perizinan pemanfaatan air permukaan (pu/" target="_blank">APU) dan rekomendasi teknis Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian lingkungan, kini disinyalir berubah menjadi ruang praktik pungutan liar (pungli) yang bersifat sistemik. Dugaan tersebut mengemuka dari pengakuan pelaku usaha, lamanya proses perizinan tanpa kepastian, hingga maraknya aktivitas pemanfaatan air dan pertambangan ilegal di sejumlah daerah di Sumatera Utara.
Secara normatif, rekomendasi teknis pu/" target="_blank">APU dan SIPB berada dalam kewenangan teknis bidang Sumber Daya Air (SDA) dan bertujuan memastikan daya dukung lingkungan, keseimbangan hidrologi, serta keselamatan infrastruktur sungai. Namun di lapangan, proses perizinan kerap berlangsung tanpa standar waktu pelayanan yang jelas dan transparan.
Sejumlah pemohon izin mengaku berkas permohonan dapat "mengendap" selama enam hingga dua belas bulan tanpa kejelasan persetujuan maupun penolakan. Ironisnya, proses yang berlarut tersebut disebut dapat dipercepat melalui jalur informal dengan biaya tidak resmi yang nilainya bervariasi.
"Kalau ikut jalur resmi, tidak ada kepastian. Tapi kalau ada biaya tambahan, rekomendasi bisa keluar lebih cepat," ujar salah satu pelaku usaha yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, dugaan pungli untuk pengurusan rekomendasi teknis pu/" target="_blank">APU dan SIPB di lingkungan PU–SDA berkisar antara Rp10 juta hingga Rp30 juta per permohonan. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan standar biaya nol rupiah yang diumumkan secara terbuka, tidak adanya service level agreement (SLA), serta minimnya akses publik untuk memantau status permohonan izin.
Situasi tersebut membuka ruang transaksi antara pemohon dan aparat birokrasi, sekaligus menutup akses bagi pelaku usaha kecil yang tidak mampu membayar biaya informal. Ketidakpastian perizinan akhirnya mendorong sebagian pelaku usaha memilih beroperasi tanpa izin.
Dampaknya, aktivitas pemanfaatan air permukaan dan penambangan pasir maupun batuan di sungai-sungai berlangsung tanpa kendali teknis. Di sejumlah lokasi, kondisi ini memicu pendalaman sungai yang tidak terencana, kerusakan tebing dan sempadan sungai, terganggunya keseimbangan hidrologi, hingga meningkatnya risiko banjir serta degradasi kualitas air.
Alih-alih menjadi alat pengendali, rekomendasi teknis yang tertutup justru disinyalir berkontribusi pada kerusakan lingkungan yang masif.
Selain merusak lingkungan, praktik ini juga berdampak langsung pada penerimaan negara dan daerah. Aktivitas tanpa izin otomatis tidak tercatat dalam sistem perpajakan dan retribusi, menyebabkan hilangnya pajak pemanfaatan air permukaan, tidak optimalnya PNBP sektor pertambangan, serta kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Negara dirugikan dua kali: lingkungan rusak dan pajak tidak masuk.
Perkumpulan SEMATA (Semesta Air & Tanah) secara tegas mendesak reformasi tata kelola perizinan pu/" target="_blank">APU dan SIPB di Sumatera Utara. SEMATA merujuk pada data pemberitaan nasional yang menyebut Sumut sebagai provinsi dengan indikasi pertambangan tanpa izin (PETI) tertinggi di Indonesia, mencapai 396 titik.
SEMATA menilai persoalan utama bukan terletak pada regulasi, melainkan pada implementasi yang tertutup, tidak akuntabel, serta lemahnya monitoring dan evaluasi lintas sektor.
"Tanpa transparansi, rekomendasi teknis hanya menjadi alat transaksional. Padahal seharusnya menjadi benteng perlindungan lingkungan sekaligus sumber penerimaan negara," tegas perwakilan SEMATA.
SEMATA mendorong pemerintah daerah untuk segera melakukan transparansi penuh proses perizinan, termasuk publikasi alur, syarat, biaya resmi, dan tenggat waktu pelayanan. Selain itu, digitalisasi perizinan dengan sistem pelacakan terbuka dinilai mendesak untuk memutus kontak informal antara pemohon dan aparat.
Pelibatan akademisi, masyarakat terdampak, asosiasi usaha, serta organisasi lingkungan dalam evaluasi teknis juga dianggap penting guna memastikan rekomendasi berbasis data ilmiah, bukan kepentingan transaksional. SEMATA juga mendesak pembentukan mekanisme pengaduan independen yang aman, serta penindakan tegas terhadap aparatur sipil negara yang terbukti menyalahgunakan kewenangan.
Kasus dugaan pungli rekomendasi teknis pu/" target="_blank">APU dan SIPB ini menjadi ujian serius komitmen reformasi birokrasi di sektor sumber daya air dan pertambangan, khususnya di era kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara saat ini. Publik menanti keberanian pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk membuka persoalan ini secara terang, bukan menutupnya sebagai urusan internal birokrasi.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya melakukan konfirmasi kepada Kepala Bidang SDA, Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas Perindustrian, serta Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Sumatera Utara.red

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Administrator
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Mahasiswa Akan Geruduk PUPR Sumut dan DPPESDM, Desak Transparansi Perizinan SDA dan SIPB
Pemkab Asahan Serahkan Petikan Keputusan Pengangkatan 2.514 PPPK Paruh Waktu
Dinilai Transparan dan Akuntabel, KPU Padangsidimpuan Kembali Raih Penghargaan Informatif
Satgas Gulbencal Kodam I/BB Rampungkan 4 Kamar MCK di Pengungsian Hutanabolon Simpang Sipange
Unimed Raih Anugerah Badan Publik Predikat ”INFORMATIF” Dari KIP Republik Indonesia
Adipura di Ujung Tanduk: Sampah Menumpuk dan Berhamburan di Depan Polresta dan FK Medistra Saat Deli Serdang Incar Adipura
komentar
beritaTerbaru