Kamis, 13 November 2025

KEDAULATAN EKONOMI DAN PARADOKS AGRARIA: Antara Bicara dan Tindakan Nyata Pemimpin

Administrator - Selasa, 11 November 2025 21:03 WIB
KEDAULATAN EKONOMI DAN PARADOKS AGRARIA: Antara Bicara dan Tindakan Nyata Pemimpin
Istimewa

Baca Juga:

Oleh: H. Syahrir Nasution, SE., MM.


Kedaulatan ekonomi bangsa sejatinya hanya dapat terwujud apabila ada keadilan struktural yang nyata di tengah masyarakat. Artinya, sistem ekonomi nasional harus dibangun di atas fondasi pemerataan akses dan penguasaan sumber-sumber produksi, terutama tanah sebagai basis kehidupan mayoritas rakyat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Reformasi Agraria (Land Reform) seharusnya menjadi titik sentral pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Sebab, lebih dari 80 persen kehidupan rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan, bertumpu pada sektor pertanian — sektor yang sangat erat kaitannya dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Namun, ironi besar masih terjadi. Para petani yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional justru hidup dalam kesulitan. Martabat mereka belum terangkat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (basic needs) pun masih jauh dari layak.
Fenomena inilah yang disebut "Paradoks Agraria" — sebuah kenyataan pahit di mana Indonesia, negeri yang kaya raya akan sumber daya tanah, justru masih menyisakan kemiskinan di tengah rakyatnya.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terus terjadi?
Jawaban sederhananya terletak pada lemahnya implementasi kebijakan dan minimnya keberpihakan nyata dari para pemegang kekuasaan. Pembangunan sering hanya berhenti pada tataran retorika, bukan tindakan nyata yang berpihak kepada rakyat kecil.

Dari Bicara ke Tindakan Nyata

Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya pandai berbicara — ia harus bertindak nyata.
Seperti dikatakan Syahrir Nasution, "Action (tindakan) lebih berarti daripada talking (berbicara), buktikan."

Dalam konteks kepemimpinan, ucapan dan perbuatan harus berjalan berbanding lurus (ceteris paribus). Apalagi bagi seorang pemimpin formal yang menjadi panutan masyarakat luas, keselarasan antara kata dan tindakan adalah sumber utama kepercayaan (trust) dari rakyat.

Ketika pemimpin berbicara tentang keadilan, namun perilakunya menunjukkan ketimpangan; ketika pemimpin menyerukan reformasi, namun dirinya tak berubah — maka kepercayaan rakyat akan terkikis sedikit demi sedikit.
Dan dalam situasi seperti ini, hilangnya empati rakyat terhadap pemimpinnya adalah hal yang sangat wajar.

Dalam ajaran Islam, hal semacam itu bahkan digolongkan pada sifat "munafik", yakni seseorang yang berkata tidak sesuai dengan perbuatannya.
Oleh karena itu, jika bangsa ini ingin benar-benar berdaulat secara ekonomi, maka pemimpinnya harus terlebih dahulu berdaulat secara moral dan integritas — menegakkan keadilan bukan sekadar dalam kata, melainkan dalam perbuatan nyata.

Penutup

Kedaulatan ekonomi bukanlah cita-cita kosong yang bisa dicapai dengan wacana. Ia harus dibangun dengan keberanian melakukan reformasi agraria sejati, keadilan struktural, dan keteladanan moral dari para pemimpin bangsa.
Tanpa itu, paradoks agraria akan terus berulang — dan rakyat akan tetap menunggu pemimpin yang bicara sesuai tindakan, bukan sebaliknya.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Mengekspor Kekayaan, Mengimpor Kemiskinan — Paradoks yang Tak Pernah Usai
Inalum Dukung Peningkatan Ekonomi Lokal dan PAD Untuk Pembangunan Daerah
IECES FE Unimed 2025 : Prof Dr Syawal Gultom : Pendidikan Berperan Penting dalam Wujudkan Ekonomi Berkelanjutan
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN BERDAULAT
BANGSA DAN NEGARA INDONESIA DISANDERA UTANG
Syahrir Nasution: Penegakan Hukum Ekonomi dan Perdagangan di Indonesia Harus Jelas dan Tegas
komentar
beritaTerbaru