
ARMED-10: Hasyim SE Bukan Sekadar Politisi, Tapi Pemersatu yang Menyatukan Medan dalam Harmoni
ARMED10 Hasyim SE Bukan Sekadar Politisi, Tapi Pemersatu yang Menyatukan Medan dalam Harmoni
kotaBaca Juga:
Oleh : Leriadi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
Indonesia tengah berada di persimpangan sejarah penting: memasuki puncak bonus demografi yang akan berlangsung hingga tahun 2045. Sekitar 70 persen penduduk Indonesia kini berada pada usia produktif (15–64 tahun) — sebuah kondisi yang, secara teori, merupakan momentum emas untuk melesat menjadi negara maju.
Namun, sebagaimana diingatkan banyak ekonom dan demografer, bonus demografi bukanlah jaminan kemakmuran. Ia bisa menjadi berkah jika tenaga kerja muda terserap secara produktif, atau berubah menjadi bencana sosial bila lapangan kerja tak tersedia memadai.
---
Tantangan Ekonomi: Pertumbuhan Tak Cukup Tinggi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bertahan di kisaran 5 persen per tahun. Sementara, pertumbuhan angkatan kerja mencapai sekitar 2 persen per tahun. Berdasarkan analisis Bappenas dan Bank Dunia, untuk benar-benar menyerap tenaga kerja baru, Indonesia memerlukan pertumbuhan minimal 6,5–7 persen per tahun.
Artinya, laju ekonomi yang sekarang belum cukup. Sebagian besar pekerjaan baru yang tercipta masih bersifat informal, berupah rendah, dan tidak stabil.
Data BPS (Agustus 2024) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka 5,3 persen, atau sekitar 7,6 juta orang. Namun, jika memasukkan mereka yang bekerja tidak penuh waktu dan pekerja informal, angka "underemployment" bisa menyentuh 30 juta orang.
Lebih memprihatinkan, mayoritas dari mereka adalah generasi milenial dan generasi Z — generasi dengan ekspektasi tinggi terhadap kemajuan, namun kerap berhadapan dengan realitas ekonomi yang sempit.
---
Dampak Sosial dan Politik: Frustrasi Generasi Muda
Kesenjangan antara pendidikan dan kesempatan kerja menjadi sumber frustrasi sosial yang nyata. Lulusan universitas dan SMK tumbuh pesat, tetapi lapangan kerja berkualitas tidak berkembang sepadan.
Fenomena lain adalah munculnya "digital underclass" — pekerja informal di sektor digital seperti ojek online, reseller, atau freelancer tanpa perlindungan sosial. Di sisi lain, segelintir elite digital menikmati kekayaan luar biasa. Ketimpangan baru ini bisa menjadi bom waktu sosial.
Secara politik, pengangguran muda adalah bahan bakar ketidakstabilan. Sejarah telah menunjukkan di Timur Tengah (Arab Spring) dan Sri Lanka, frustrasi generasi muda terhadap ekonomi dan korupsi dapat bermetamorfosis menjadi gerakan populis, radikalisasi ideologis, atau ledakan protes spontan.
Indonesia memiliki karakter masyarakat yang ekspresif dan mudah termobilisasi melalui media sosial. Dalam konteks ini, frustrasi ekonomi bisa dengan cepat berubah menjadi mobilisasi politik — ancaman nyata bagi stabilitas nasional.
---
Implikasi Politik: Menjaga Kepercayaan Generasi Baru
Generasi muda Indonesia kini lebih kritis, egaliter, dan sensitif terhadap keadilan sosial. Mereka menolak sistem birokratis dan politik yang dianggap tertutup. Bila merasa tidak diberi ruang, mereka cenderung menyalurkan aspirasi melalui politik jalanan dan gerakan sosial horizontal.
Karenanya, kestabilan politik di era bonus demografi sangat bergantung pada kemampuan pemerintah membangun ekonomi yang inklusif dan meritokratik — di mana kesempatan diberikan berdasarkan kompetensi, bukan koneksi.
---
Strategi Kunci Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
1. Ekonomi & Industri
Fokus pada industrialisasi padat karya berbasis teknologi menengah — seperti manufaktur, agroindustri, dan digital service. Prioritasnya bukan sekadar pertumbuhan, tetapi penciptaan lapangan kerja berkualitas.
2. Pendidikan & SDM
Lakukan revolusi pendidikan vokasi dan politeknik agar lebih demand-driven, sesuai kebutuhan industri, bukan sekadar mencetak lulusan akademik tanpa arah.
3. Kewirausahaan Muda
Perluasan akses permodalan, pelatihan bisnis digital, dan insentif bagi startup berbasis teknologi dan pertanian modern.
4. Reformasi Pasar Kerja
Deregulasi yang mendorong mobilitas kerja antar-sektor, dengan tetap memberikan perlindungan sosial minimum bagi pekerja.
5. Reformasi Birokrasi & Politik
Pemerintah harus menunjukkan meritokrasi nyata — agar generasi muda percaya bahwa sistem memberi peluang bagi yang kompeten, bukan bagi yang berkuasa.
---
Kesimpulan: Bonus atau Beban
Bonus demografi adalah ujian kepemimpinan nasional dalam membuat kebijakan strategis lintas sektor. Jika pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja bermartabat, bonus ini akan berubah menjadi "demographic liability" — beban sosial dan politik yang berpotensi mengguncang fondasi stabilitas nasional.
Sebaliknya, jika dikelola dengan visi jangka panjang, ini bisa menjadi mesin kemakmuran bangsa — menjadikan Indonesia benar-benar siap menyongsong Indonesia Emas 2045.
ARMED10 Hasyim SE Bukan Sekadar Politisi, Tapi Pemersatu yang Menyatukan Medan dalam Harmoni
kotaFakta Mengejutkan di Sidang Kasus Suap Jalan Rp96 Miliar Tim Media Gubernur Sumut Diduga Dilibatkan dalam Survei Proyek
kotasumut24.co LAGUBOTI, Wakil Bupati Toba Audi Murphy O. Sitorus dengan tegas memerintahkan Dinas Pertanian dan tenaga penyuluh untuk memberi
Newssumut24.co TOBA, Penerapan presensi online bagi aparatur sipil negara (ASN) dinlingkugan pemerintah kabupaten Toba yang diberlakukan sejak
NewsMedan sumut24.co Penyidik Polsek Medan Tembung Aipda AS Diduga tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi (tufoksi) Polri sebaga
Hukumsumut24.co Tapsel, Dalam mendukung program swasembada pangan nasional 2025, Polres Tapanuli Selatan (Tapsel) menggelar penanaman jagung ser
NewsPembohong Nasional dan Budaya Menipu yang Dipelihara
kotasumut24.co Paluta, Komitmen untuk memerangi narkoba semakin diperkuat. Polres Tapanuli Selatan (Tapsel) bersama Forum Koordinasi Pimpinan D
Newssumut24.co MEDAN, Mahasiswa Latihan Kerja Peminatan (LKP) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), kh
kotaIndonesia dan Tantangan Bonus Demografi Antara Peluang dan Ancaman
kota