Pelantikan JMSI Sumut, Gelar Workshop dan Malam Anugerah JMSI Award 2025
Pelantikan JMSI Sumut, Gelar Workshop dan Malam Anugerah JMSI Award 2025
kota
Baca Juga:
Oleh: H. Syahrir Nasution, Pemerhati Sosial dan Ekonomi
"Bayar, bayar, bayar untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia."
Kalimat itu bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan jeritan nurani melihat semakin kaburnya batas antara integritas dan transaksi dalam proses penentuan pejabat strategis negeri ini.
Disinyalir, dalam rangka fit and proper test calon Gubernur Bank Indonesia di Komisi XI DPR RI, harus ada "uang pemanis" — atau dalam istilah yang lebih satir saya sebut "sweet fulus" — agar seorang kandidat bisa "goal" menduduki kursi empuk Gubernur BI. Ironisnya, praktik tersebut bahkan dikemas dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), seolah-olah uang pelicin itu adalah sumbangan sosial.
Padahal, CSR adalah ranah dunia korporasi — bukan lembaga negara.
Ketika Bank Indonesia, lembaga yang sejatinya menjadi penjaga moral moneter dan kestabilan ekonomi nasional, ikut dipersepsikan bermain di wilayah "CSR politis", maka publik patut bertanya:
Apakah BI masih menjadi lembaga independen, atau sudah berubah menjadi "perusahaan" yang membayar untuk mendapatkan kepercayaan politik?
Ujian Integritas
Fit and proper test seharusnya menjadi ruang pengujian moral, visi kebijakan, dan kapasitas profesional calon pejabat publik. Namun, jika ruang itu telah bergeser menjadi arena transaksi, maka yang terpilih bukanlah yang terbaik, melainkan yang terkaya.
Di sinilah kemunduran etik bangsa bermula — ketika jabatan strategis ditentukan bukan oleh kualitas, melainkan oleh amplop yang paling tebal.
Bahaya Sistemik
Bayangkan dampaknya jika dugaan ini benar terjadi. Seorang Gubernur BI yang "membayar" untuk duduk tentu akan mencari cara untuk "mengembalikan modalnya". Keputusan moneter, kebijakan suku bunga, hingga arah stabilisasi nilai rupiah bisa terkontaminasi oleh kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan rakyat banyak.
Maka, "sweet fulus" hari ini bisa menjadi "bitter economy" besok.
Saatnya DPR dan BI Buka Diri
Kita tak ingin tudingan ini sekadar lewat tanpa tanggapan. Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia wajib membuka diri, menunjukkan transparansi proses seleksi, dan memastikan bahwa tak ada satu rupiah pun uang pelicin yang berputar di balik fit and proper test.
Jika tidak, kepercayaan publik terhadap BI — sebagai simbol stabilitas keuangan negara — akan runtuh.
Bangsa ini sudah terlalu lama membiarkan politik uang merusak sendi-sendi pemerintahan. Jangan biarkan penyakit itu menjalar ke lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral ekonomi nasional.
Karena jika untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia saja harus "bayar", maka yang sejatinya memimpin bukanlah penjaga rupiah, melainkan penjaga amplop.***
Pelantikan JMSI Sumut, Gelar Workshop dan Malam Anugerah JMSI Award 2025
kota
Bakopam Sumut Hadiri Sosialisasi Perlindungan Saksi dan Korban Bersama LPSK dan Komisi XIII DPR RI
kota
sumut24.co ASAHAN, Bupati Asahan Taufik Zainal Abidin Siregar SSos MSi, menghadiri kegiatan Advokasi Penguatan Pembangunan Pemberdayaan Per
News
Medan, Keluarga besar Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila Kota Medan menggelar silaturahmi di Cofee Ketua, di Jalan
Kota
Sinergi Pemerintah dan Kemenkop, Padang Lawas Siap Jadi Percontohan Koperasi Merah Putih Nasional
kota
Wabup Atika Nasution Pimpin Operasi Gabungan Kepatuhan Pajak Kendaraan di Madina
kota
Serahkan Bantuan untuk Korban Kebakaran, Wabup Atika Nasution Imbau Warga
kota
Wakil Bupati Padang Lawas Utara Resmikan Aplikasi SIPASADA Inovasi Digital untuk Layanan Cepat dan Transparan
kota
Audit Segera! Program Irigasi P3TGAI 2025 Petani Sumut Sarat Korupsi Usai Terbitnya Kepmen PUPR
kota
Perbarindo Sumut Dorong Revolusi Digital BPRBPRS untuk Kemandirian Ekonomi Daerah
News