Selasa, 26 Agustus 2025

Bentrok Demo Agustus 2025, Pengamat: Puncak Krisis Keadilan Sosial dan Arogansi Elit

Administrator - Selasa, 26 Agustus 2025 08:26 WIB
Bentrok Demo Agustus 2025, Pengamat: Puncak Krisis Keadilan Sosial dan Arogansi Elit
Istimewa
Baca Juga:

MEDAN - Bentrokan hebat antara massa pengunjuk rasa dan aparat keamanan di depan Gedung DPR RI, Senin (25/8/2025), adalah gejala dari puncak krisis keadilan sosial dan penanda frustrasi publik yang tak terbendung lagi. Demikian analisis yang disampaikan pengamat politik dan sosial dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar.

Menurutnya, aksi massa yang menolak kenaikan tunjangan anggota dewan ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ledakan dari akumulasi kekecewaan yang telah lama terpendam.

"Ini bukan sekadar soal mobilisasi. Menganggap ini murni karena ada yang menggerakkan adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya dan menafikan penderitaan nyata di masyarakat. Ini adalah bara dalam sekam. Frustrasi sosial itu bahan bakar utamanya, dan kebijakan DPR yang tidak peka itu pemantiknya," ujar Shohibul kepada wartawan, Selasa (26/8/2025).


Warisan Beban dan Ketidakpastian Rezim Baru

Shohibul Anshor Siregar memaparkan bahwa masyarakat saat ini terimpit oleh dua kondisi yang berat. Di satu sisi, ada residu persoalan dari rezim sebelumnya yang belum tuntas, terutama terkait beban ekonomi dan pelemahan sendi-sendi demokrasi. Di sisi lain, rezim baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto belum menunjukkan arah perubahan yang jelas dan meyakinkan bagi wong cilik.

"Rezim berganti, tetapi mentalitas elite politiknya tidak. Dari era Jokowi, kita membawa beban utang dan demokrasi yang tercederai. Kini di era Prabowo, meski ada program populis, arahnya belum jelas bagi rakyat. Yang rakyat lihat adalah elite yang sibuk mengurus kompensasi dan tunjangan, sementara mereka berjuang untuk sekadar bertahan hidup," tegasnya.

Dia juga menyoroti bagaimana DPR seolah tuli terhadap aspirasi dari berbagai kalangan, termasuk dari Forum Purnawirawan TNI yang suratnya diabaikan begitu saja. Baginya, ini adalah cerminan arogansi institusional. "Ketika lembaga terhormat seperti purnawirawan saja tidak digubris, apalagi suara rakyat biasa? Ini menunjukkan DPR telah mengisolasi diri dari realitas sosial," tambahnya.

Ilusi Statistik di Tengah Realita Pahit

Shohibul Anshor juga mengkritik keras klaim pemerintah mengenai perbaikan data sosial ekonomi. Menurutnya, angka-angka statistik yang disajikan seringkali menjadi "kemajuan semu" atau phantom prosperity yang tidak dirasakan dampaknya oleh masyarakat luas.

"Pemerintah boleh saja mengklaim angka kemiskinan dan pengangguran turun. Tapi coba tanyakan pada ibu rumah tangga di pasar, atau pada sarjana yang masih menganggur. Realitanya, harga kebutuhan pokok terus meroket dan lapangan kerja berkualitas sulit didapat," katanya. "Angka kemiskinan yang disamarkan dan ketimpangan yang dibiarkan hanya akan melahirkan krisis legitimasi."

Menurutnya, kontradiksi antara klaim pemerintah dan kenyataan pahit inilah yang membuat tingkat frustrasi sosial semakin tinggi dan mudah tersulut.
Mobilisasi Hanya Pemicu,

Bukan Penyebab Utama

Mengenai analisis adanya aktivitas mobilisasi oleh kelompok tak dikenal, Shohibul Anshor Siregar tidak menampiknya. Namun, ia menekankan bahwa sehebat apapun upaya mobilisasi, tidak akan berhasil jika tidak ada keresahan otentik di tingkat akar rumput.

"Selalu ada pihak yang mencoba memanfaatkan situasi. Itu analisis intelijen dasar. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: mengapa situasi ini begitu mudah untuk dimanfaatkan? Jawabannya karena kondisi objektif masyarakat memang sudah sangat rapuh dan marah. Jadi, ini adalah kemarahan organik yang kemudian disalurkan, bukan kemarahan yang diciptakan," jelasnya.


Anatomi Unjuk Rasa dan Proyeksi ke Depan

Menyimpulkan analisisnya, Shohibul Anshor Siregar menyebut unjuk rasa anarkis kemarin sebagai anatomi dari sebuah kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya. Ini adalah cerminan dari "kontradiksi moral dan sosial" di mana elite mempertontonkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat.

"Anatominya jelas: ada kebijakan yang tidak adil sebagai pemicu, diperparah oleh kondisi ekonomi yang sulit dan arogansi elite, lalu meledak menjadi amarah kolektif. Sikap anggota dewan yang menuduh balik rakyatnya sendiri hanya memperburuk keadaan dan menunjukkan mereka gagal melakukan introspeksi," paparnya.

Ke depan, ia memberikan peringatan keras kepada pemerintah dan DPR. Jika tidak ada perubahan fundamental dalam pendekatan kebijakan yang lebih berpihak pada keadilan sosial, maka peristiwa serupa bahkan dengan skala yang lebih besar sangat mungkin akan terulang.

"Ini adalah lonceng peringatan. Kepercayaan publik sedang diuji. Pemerintah dan DPR harus segera menunjukkan perubahan sikap dan kebijakan yang konkret. DPR, seharusnya menuntut pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, untuk menjadikan penyediaan pekerjaan sebagai prioritas mutlak, bukan sibuk mengurus fasilitas diri sendiri," pungkasnya.red2

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Seribuan Buruh Akan Demo Gubsu Tanggal 28 Agustus Ini, Tuntut Kenaikan Upah 10,5 % dan Perumahan Murah Bagi Buruh
Libatkan Warga Lokal, IAS Berharap F1 Powerboat 2025 Tumbuhkan Perkonomian Warga Lokal
Peringatan HUT RI ke-80 di Paluta, Reski Basyah Harahap menjadi Inspektur Upacara "Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju"
Masyarakat Perum KIP Meriahkan HUT ke-80 RI dengan Perlombaan dan Hiburan Rakyat
Renungan hari Kemerdekaan ke 80, tahun 2025,  *Perlunya Reorientasi Pembangunan Ekonomi
ALAMP AKSI Demo di Kejati Sumut, Desak Usut Dugaan Korupsi Rp17 Miliar di PTPN I
komentar
beritaTerbaru