JMSI Sumut Anugerahkan Award 2025 kepada AKBP Wira Prayatna atas Dedikasi Humanis di Dunia Kepolisian
JMSI Sumut Anugerahkan Award 2025 kepada AKBP Wira Prayatna atas Dedikasi Humanis di Dunia Kepolisian
kota
Baca Juga:
MEDAN - Bentrokan hebat antara massa pengunjuk rasa dan aparat keamanan di depan Gedung DPR RI, Senin (25/8/2025), adalah gejala dari puncak krisis keadilan sosial dan penanda frustrasi publik yang tak terbendung lagi. Demikian analisis yang disampaikan pengamat politik dan sosial dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar.
Menurutnya, aksi massa yang menolak kenaikan tunjangan anggota dewan ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ledakan dari akumulasi kekecewaan yang telah lama terpendam.
"Ini bukan sekadar soal mobilisasi. Menganggap ini murni karena ada yang menggerakkan adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya dan menafikan penderitaan nyata di masyarakat. Ini adalah bara dalam sekam. Frustrasi sosial itu bahan bakar utamanya, dan kebijakan DPR yang tidak peka itu pemantiknya," ujar Shohibul kepada wartawan, Selasa (26/8/2025).
Warisan Beban dan Ketidakpastian Rezim Baru
Shohibul Anshor Siregar memaparkan bahwa masyarakat saat ini terimpit oleh dua kondisi yang berat. Di satu sisi, ada residu persoalan dari rezim sebelumnya yang belum tuntas, terutama terkait beban ekonomi dan pelemahan sendi-sendi demokrasi. Di sisi lain, rezim baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto belum menunjukkan arah perubahan yang jelas dan meyakinkan bagi wong cilik.
"Rezim berganti, tetapi mentalitas elite politiknya tidak. Dari era Jokowi, kita membawa beban utang dan demokrasi yang tercederai. Kini di era Prabowo, meski ada program populis, arahnya belum jelas bagi rakyat. Yang rakyat lihat adalah elite yang sibuk mengurus kompensasi dan tunjangan, sementara mereka berjuang untuk sekadar bertahan hidup," tegasnya.
Dia juga menyoroti bagaimana DPR seolah tuli terhadap aspirasi dari berbagai kalangan, termasuk dari Forum Purnawirawan TNI yang suratnya diabaikan begitu saja. Baginya, ini adalah cerminan arogansi institusional. "Ketika lembaga terhormat seperti purnawirawan saja tidak digubris, apalagi suara rakyat biasa? Ini menunjukkan DPR telah mengisolasi diri dari realitas sosial," tambahnya.
Ilusi Statistik di Tengah Realita Pahit
Shohibul Anshor juga mengkritik keras klaim pemerintah mengenai perbaikan data sosial ekonomi. Menurutnya, angka-angka statistik yang disajikan seringkali menjadi "kemajuan semu" atau phantom prosperity yang tidak dirasakan dampaknya oleh masyarakat luas.
"Pemerintah boleh saja mengklaim angka kemiskinan dan pengangguran turun. Tapi coba tanyakan pada ibu rumah tangga di pasar, atau pada sarjana yang masih menganggur. Realitanya, harga kebutuhan pokok terus meroket dan lapangan kerja berkualitas sulit didapat," katanya. "Angka kemiskinan yang disamarkan dan ketimpangan yang dibiarkan hanya akan melahirkan krisis legitimasi."
Menurutnya, kontradiksi antara klaim pemerintah dan kenyataan pahit inilah yang membuat tingkat frustrasi sosial semakin tinggi dan mudah tersulut.
Mobilisasi Hanya Pemicu,
Bukan Penyebab Utama
Mengenai analisis adanya aktivitas mobilisasi oleh kelompok tak dikenal, Shohibul Anshor Siregar tidak menampiknya. Namun, ia menekankan bahwa sehebat apapun upaya mobilisasi, tidak akan berhasil jika tidak ada keresahan otentik di tingkat akar rumput.
"Selalu ada pihak yang mencoba memanfaatkan situasi. Itu analisis intelijen dasar. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: mengapa situasi ini begitu mudah untuk dimanfaatkan? Jawabannya karena kondisi objektif masyarakat memang sudah sangat rapuh dan marah. Jadi, ini adalah kemarahan organik yang kemudian disalurkan, bukan kemarahan yang diciptakan," jelasnya.
Anatomi Unjuk Rasa dan Proyeksi ke Depan
Menyimpulkan analisisnya, Shohibul Anshor Siregar menyebut unjuk rasa anarkis kemarin sebagai anatomi dari sebuah kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya. Ini adalah cerminan dari "kontradiksi moral dan sosial" di mana elite mempertontonkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat.
"Anatominya jelas: ada kebijakan yang tidak adil sebagai pemicu, diperparah oleh kondisi ekonomi yang sulit dan arogansi elite, lalu meledak menjadi amarah kolektif. Sikap anggota dewan yang menuduh balik rakyatnya sendiri hanya memperburuk keadaan dan menunjukkan mereka gagal melakukan introspeksi," paparnya.
Ke depan, ia memberikan peringatan keras kepada pemerintah dan DPR. Jika tidak ada perubahan fundamental dalam pendekatan kebijakan yang lebih berpihak pada keadilan sosial, maka peristiwa serupa bahkan dengan skala yang lebih besar sangat mungkin akan terulang.
"Ini adalah lonceng peringatan. Kepercayaan publik sedang diuji. Pemerintah dan DPR harus segera menunjukkan perubahan sikap dan kebijakan yang konkret. DPR, seharusnya menuntut pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, untuk menjadikan penyediaan pekerjaan sebagai prioritas mutlak, bukan sibuk mengurus fasilitas diri sendiri," pungkasnya.red2
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
JMSI Sumut Anugerahkan Award 2025 kepada AKBP Wira Prayatna atas Dedikasi Humanis di Dunia Kepolisian
kota
Pemerintah Kabupaten Simalungun Terima SimbolSimbol Pahlawan Nasional Tuan Rondahaim dari Ahli Waris
kota
Berkunjung Ke Kemenhut RI, Wakil Bupati Simalungun Bahas Penguatan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Bersama Wakil Menteri Kehutanan
kota
sumut24.co BATUBARA l PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bersama Komisi XII DPR RI dan sejumlah BUMN seperti Pertamina, Antam, PLN, BRI
News
Kolam Retensi Gagal Berfungsi, FPUSU Soroti Tata Kelola Infrastruktur Kampus
kota
Wakil Bupati Simalungun Hadiri Pelantikan Pengurus Kwarda Sumut, Pramuka Didorong Perkuat Peran dalam Pencegahan Narkoba
kota
Rakor Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana di Kota Pematangsiantar
kota
Guru memeringati Hari Guru Nasional sekaligus HUT ke80 dan HUT PGRI
kota
Bawaslu Gelar Forum Belajar di Medan, Pakar Demokrasi Indonesia Mundur, Pemilu Hanya Legitimasi bagi Rezim Oligarkis
kota
Bank Sumut Peduli Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana Alam di Sumut
kota