Selasa, 17 Juni 2025

Integritas Tak Bisa Dibeli: Uang Bukan Obat Korupsi di Peradilan

Amru Lubis - Selasa, 17 Juni 2025 09:07 WIB
Integritas Tak Bisa Dibeli: Uang Bukan Obat Korupsi di Peradilan
Medan I Sumut24. co

Baca Juga:
Ketika pemerintah mengusulkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen, publik tentu bertanya-tanya: benarkah ini akan menjadi solusi jitu memberantas korupsi di lembaga peradilan?


Dalam wacana yang terdengar manis ini, kita tergoda percaya bahwa uang bisa membeli integritas. Bahwa dengan penghasilan yang "layak," hakim tak akan lagi tergiur suap. Namun, sejarah dan pengalaman—baik dari dalam maupun luar negeri—berulang kali menunjukkan: integritas tidak sekadar persoalan isi dompet. Ia adalah soal sistem. Dan sistem peradilan kita masih jauh dari kata sehat.

Mari lihat kenyataan di balik toga. Selama ini, proses rekrutmen hakim masih lebih banyak ditentukan oleh koneksi ketimbang kompetensi. Integritas belum menjadi fondasi, sekadar bonus bila ada. Komisi Yudisial yang seharusnya jadi penjaga etika, terbatasi wewenangnya. Sementara pengawasan di Mahkamah Agung tak cukup independen untuk mencegah pelanggaran dari dalam. Semua ini menciptakan ruang gelap—tempat di mana mafia hukum bisa tumbuh subur, terlindungi oleh sistem yang permisif.

Marak Jual Beli Perkara

Lalu ada budaya "jual-beli" perkara yang sudah lama jadi rahasia umum. Lobi vonis, intervensi kekuasaan, hingga transaksi keputusan menjadi rutinitas yang nyaris normal. Dalam kondisi seperti ini, vonis yang ringan untuk pelaku korupsi besar atau hukuman berat untuk pelanggaran kecil bisa saja tidak lagi mencerminkan keadilan, tetapi harga.

Selain itu, jangan lupa, beban kerja yang timpang serta fasilitas minim di daerah juga jadi lubang besar dalam integritas. Hakim yang bekerja di bawah tekanan dan serba kekurangan lebih rentan terjebak dalam tawaran "solusi instan".

Apa yang dibutuhkan bukan hanya tambahan rupiah, melainkan reformasi menyeluruh: dari cara hakim dipilih, bagaimana mereka diawasi, hingga bagaimana putusan mereka dipertanggungjawabkan secara publik. Teknologi bisa membantu membuka transparansi proses hukum. Partisipasi masyarakat sipil bisa memperkuat pengawasan. Tapi semua itu hanya mungkin jika ada kemauan politik yang benar-benar serius.

Belajar dari Negara Lain: Gaji Besar Tak Selalu Efektif

Pengalaman Ghana dan Nigeria menjadi cermin. Di sana, aparat hukum digaji tinggi, tapi korupsi tetap hidup karena akuntabilitas lemah dan sistem dibiarkan rusak. Indonesia tentu tak ingin mengulang cerita serupa.

Naikkan gaji hakim? Silakan. Tapi jangan berhenti di sana. Jangan biarkan kebijakan ini menjadi topeng kemewahan yang menutupi wajah peradilan yang sebenarnya masih kusam. Indonesia pun bisa jatuh ke lubang yang sama jika hanya fokus pada nominal tanpa membenahi sistem secara menyeluruh. Gaji besar tanpa reformasi ibarat menuang air ke dalam ember bocor!

Bukan Cuma Soal Gaji, Tapi Soal Keberanian Merombak Sistem
Kenaikan gaji hakim bisa jadi langkah awal yang positif. Tapi kalau sistemnya tetap bobrok, hasilnya hanya jadi perbaikan kulit luar. Selama rekrutmen masih longgar, pengawasan setengah hati, dan budaya suap dibiarkan hidup, mafia peradilan akan tetap punya ruang bernapas.

Membersihkan dunia peradilan tak cukup dengan mengisi dompet. Yang dibutuhkan adalah nyali untuk bersih-bersih sistem: menyapu praktik busuk, membuka ruang transparansi, dan membangun budaya hukum yang berintegritas.
Sebab pada akhirnya, integritas tak bisa dibeli—ia dibangun, diuji, dan dijaga.(*)

Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020



Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Amru Lubis
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Pemkot T. Tinggi Raih WTP 7 Kali Berturut - Turut,  Wako : Kedepan Harus Lebih Baik Lagi
Silaturahmi dan Ramah Tamah PTPN IV Bersama P3RI dan FKPPN, Mempererat Tali Kekeluargaan antara Manajemen dan Pensiunan
Dukung Transisi Energi, PLN UIP SBU Lakukan Site Visit ke PLTA Batang Toru Berkapasitas 510 MW
Satres Narkoba Polres Asahan Tangkap Kurir Sabu 3 Kg Asal Aceh di Jalinsum
Bupati Solok Hadiri Peletakan Batu Pertama Flyover Sitinjau Lauik
Baru Dicabut Bank Indionesia, Koin Rp10.000 TE 1999 Dijual Rp29,5 Juta
komentar
beritaTerbaru