Rabu, 29 Oktober 2025

Ambisi Megaproyek Dunia: Antara Motivasi dan Penyalahgunaan

Administrator - Rabu, 29 Oktober 2025 08:15 WIB
Ambisi Megaproyek Dunia: Antara Motivasi dan Penyalahgunaan
Istimewa

Medan – Megaproyek pemerintah di berbagai negara kerap menjadi simbol kebanggaan nasional dan kemajuan teknologi, namun di balik gemerlapnya terdapat sisi gelap berupa penyalahgunaan kekuasaan, pemborosan anggaran, dan kerusakan lingkungan.

Baca Juga:

Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar menilai, proyek raksasa yang dijalankan oleh banyak negara tidak selalu berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan sering kali sarat ambisi politik dan pencitraan penguasa.

> "Kita menyaksikan banyak megaproyek di dunia dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Pemerintah ingin tampil modern, tapi lupa pada prinsip transparansi, partisipasi rakyat, dan keberlanjutan lingkungan," ujar Siregar dalam keterangannya di Medan, Selasa (28/10/2025).

Menurutnya, secara global, lebih dari 80 persen megaproyek besar mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan gagal mencapai manfaat yang dijanjikan. "Data itu sudah lama diingatkan oleh Bent Flyvbjerg dalam bukunya Megaprojects and Risk: An Anatomy of Ambition," kata Siregar.

Motivasi dan Kepentingan Politik

Siregar menjelaskan bahwa megaproyek lahir dari tiga motivasi utama: ekonomi, politik, dan geopolitik. Dalam motivasi ekonomi, proyek besar dijadikan katalis pertumbuhan — seperti High-Speed Rail di Tiongkok atau Ibu Kota Nusantara (IKN) di Indonesia.

Namun dalam praktiknya, banyak megaproyek lebih menonjolkan kepentingan politik. "Kita lihat proyek NEOM di Arab Saudi, atau bahkan pembangunan infrastruktur besar di negara demokrasi sekalipun, sering dijadikan simbol kekuasaan," ujarnya.

Bagi Siregar, megaproyek sering dipakai penguasa untuk memperkuat citra politiknya dan menunjukkan kepada dunia bahwa negaranya 'maju'. "Masalahnya, kemajuan yang ditampilkan bersifat kosmetik, tidak menjawab ketimpangan sosial dan ekologis," tambahnya.

Risiko dan Penyalahgunaan

Siregar menyebutkan tiga pola penyalahgunaan umum yang sering muncul dalam megaproyek: pembengkakan biaya dan korupsi, pemusatan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta pengabaian terhadap hak-hak sosial masyarakat.

> "Kasus-kasus seperti Bandara Berlin Brandenburg di Jerman, Olimpiade Rio, hingga proyek NEOM menunjukkan bahwa megaproyek selalu berisiko menjadi ladang korupsi dan pelanggaran hak asasi," jelas Siregar.

Ia juga menyoroti risiko serupa di Indonesia, terutama dalam proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. "Kita perlu evaluasi serius karena pembangunan berskala besar di wilayah hutan tropis membawa konsekuensi ekologis jangka panjang," tegasnya.

Perbandingan Beberapa Megaproyek Dunia

Negara Proyek Nilai Masalah Utama

Tiongkok

Belt and Road Initiative > USD 1 triliun Utang dan risiko politik bagi negara mitra

Arab Saudi

NEOM City USD 500 miliar Pelanggaran HAM dan dampak ekologis

Indonesia

IKN Nusantara Rp 466 triliun Deforestasi dan risiko fiskal

Amerika Serikat

California High-Speed Rail USD 128 miliar Pembengkakan biaya dan keterlambatan

Qatar Infrastruktur

Piala Dunia 2022 USD 229 miliar Eksploitasi buruh migran

Modernitas dan Bahaya "Megateknik"

Lebih jauh, Siregar mengutip pemikiran Ivan Illich dan David Harvey yang mengingatkan bahwa proyek besar sering kali menjadi simbol dari "megateknik" — keyakinan bahwa pembangunan raksasa otomatis berarti kemajuan.

> "Padahal, proyek besar sering mengandung jebakan ideologis. Ia memperkuat kapitalisme global dan memperlebar ketimpangan antara pusat dan pinggiran," katanya.

Menurut Siregar, megaproyek justru bisa menjadi sarana menunda krisis ekonomi dengan memperluas ruang kapital. "Inilah yang disebut Harvey sebagai spatial fix. Pemerintah menggunakan pembangunan besar-besaran untuk menutupi masalah struktural, bukan menyelesaikannya," jelasnya.

Pentingnya Transparansi dan Partisipasi Publik

Siregar menekankan bahwa megaproyek seharusnya tidak dijalankan dengan pendekatan top-down yang tertutup. "Partisipasi publik mutlak diperlukan. Megaproyek tanpa transparansi hanya akan memperbesar potensi korupsi dan kerusakan sosial," tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi lingkungan dan sosial sebelum proyek dimulai. "Tidak cukup hanya dengan studi kelayakan ekonomi. Kita harus memastikan proyek besar memberi manfaat jangka panjang bagi rakyat, bukan hanya segelintir elite atau investor," ujarnya.

Shohibul Anshor Siregar mengingatkan bahwa megaproyek di seluruh dunia merupakan cermin ambisi manusia yang besar, namun juga potensi penyalahgunaan yang sama besar.

> "Megaproyek bisa jadi alat kemajuan, tapi tanpa tata kelola yang baik ia akan menjadi simbol keserakahan dan ketimpangan," pungkasnya.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Langkah Nyata Agincourt Resources: Konservasi Batang Toru dan Perlindungan Orangutan Tapanuli Jadi Sorotan Dunia
Chandra Dalimunte Bantah Soal Uang Klik Proyek, Itu Wewenang PPK
Proyek GIS Glugur, Kelas Nyata K3 Bagi Mahasiswa UINSU
Teruangkap di Sidang Korupsi Proyek Jalan Sipiongot APBD Sumut 2025, Pejabat Minta Jatah ‘Uang Klik’ e-catalog 0,5%
Masihkah Dunia Kampus Berani Menegakkan Kebenaran?
Jelang Serah Terima Proyek, UIP SBU Kolaborasi Bersama Stakeholder
komentar
beritaTerbaru