Rapat Paripurna DPRD Padangsidimpuan Sahkan APBD 2026 Senilai Rp746,3 Miliar
Rapat Paripurna DPRD Padangsidimpuan Sahkan APBD 2026 Senilai Rp746,3 Miliar
kota
Baca Juga:
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar menilai, proyek raksasa yang dijalankan oleh banyak negara tidak selalu berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan sering kali sarat ambisi politik dan pencitraan penguasa.
> "Kita menyaksikan banyak megaproyek di dunia dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Pemerintah ingin tampil modern, tapi lupa pada prinsip transparansi, partisipasi rakyat, dan keberlanjutan lingkungan," ujar Siregar dalam keterangannya di Medan, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, secara global, lebih dari 80 persen megaproyek besar mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan gagal mencapai manfaat yang dijanjikan. "Data itu sudah lama diingatkan oleh Bent Flyvbjerg dalam bukunya Megaprojects and Risk: An Anatomy of Ambition," kata Siregar.
Motivasi dan Kepentingan Politik
Siregar menjelaskan bahwa megaproyek lahir dari tiga motivasi utama: ekonomi, politik, dan geopolitik. Dalam motivasi ekonomi, proyek besar dijadikan katalis pertumbuhan — seperti High-Speed Rail di Tiongkok atau Ibu Kota Nusantara (IKN) di Indonesia.
Namun dalam praktiknya, banyak megaproyek lebih menonjolkan kepentingan politik. "Kita lihat proyek NEOM di Arab Saudi, atau bahkan pembangunan infrastruktur besar di negara demokrasi sekalipun, sering dijadikan simbol kekuasaan," ujarnya.
Bagi Siregar, megaproyek sering dipakai penguasa untuk memperkuat citra politiknya dan menunjukkan kepada dunia bahwa negaranya 'maju'. "Masalahnya, kemajuan yang ditampilkan bersifat kosmetik, tidak menjawab ketimpangan sosial dan ekologis," tambahnya.
Risiko dan Penyalahgunaan
Siregar menyebutkan tiga pola penyalahgunaan umum yang sering muncul dalam megaproyek: pembengkakan biaya dan korupsi, pemusatan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta pengabaian terhadap hak-hak sosial masyarakat.
> "Kasus-kasus seperti Bandara Berlin Brandenburg di Jerman, Olimpiade Rio, hingga proyek NEOM menunjukkan bahwa megaproyek selalu berisiko menjadi ladang korupsi dan pelanggaran hak asasi," jelas Siregar.
Ia juga menyoroti risiko serupa di Indonesia, terutama dalam proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. "Kita perlu evaluasi serius karena pembangunan berskala besar di wilayah hutan tropis membawa konsekuensi ekologis jangka panjang," tegasnya.
Perbandingan Beberapa Megaproyek Dunia
Negara Proyek Nilai Masalah Utama
Tiongkok
Belt and Road Initiative > USD 1 triliun Utang dan risiko politik bagi negara mitra
Arab Saudi
NEOM City USD 500 miliar Pelanggaran HAM dan dampak ekologis
Indonesia
IKN Nusantara Rp 466 triliun Deforestasi dan risiko fiskal
Amerika Serikat
California High-Speed Rail USD 128 miliar Pembengkakan biaya dan keterlambatan
Qatar Infrastruktur
Piala Dunia 2022 USD 229 miliar Eksploitasi buruh migran
Modernitas dan Bahaya "Megateknik"
Lebih jauh, Siregar mengutip pemikiran Ivan Illich dan David Harvey yang mengingatkan bahwa proyek besar sering kali menjadi simbol dari "megateknik" — keyakinan bahwa pembangunan raksasa otomatis berarti kemajuan.
> "Padahal, proyek besar sering mengandung jebakan ideologis. Ia memperkuat kapitalisme global dan memperlebar ketimpangan antara pusat dan pinggiran," katanya.
Menurut Siregar, megaproyek justru bisa menjadi sarana menunda krisis ekonomi dengan memperluas ruang kapital. "Inilah yang disebut Harvey sebagai spatial fix. Pemerintah menggunakan pembangunan besar-besaran untuk menutupi masalah struktural, bukan menyelesaikannya," jelasnya.
Pentingnya Transparansi dan Partisipasi Publik
Siregar menekankan bahwa megaproyek seharusnya tidak dijalankan dengan pendekatan top-down yang tertutup. "Partisipasi publik mutlak diperlukan. Megaproyek tanpa transparansi hanya akan memperbesar potensi korupsi dan kerusakan sosial," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi lingkungan dan sosial sebelum proyek dimulai. "Tidak cukup hanya dengan studi kelayakan ekonomi. Kita harus memastikan proyek besar memberi manfaat jangka panjang bagi rakyat, bukan hanya segelintir elite atau investor," ujarnya.
Shohibul Anshor Siregar mengingatkan bahwa megaproyek di seluruh dunia merupakan cermin ambisi manusia yang besar, namun juga potensi penyalahgunaan yang sama besar.
> "Megaproyek bisa jadi alat kemajuan, tapi tanpa tata kelola yang baik ia akan menjadi simbol keserakahan dan ketimpangan," pungkasnya.
Rapat Paripurna DPRD Padangsidimpuan Sahkan APBD 2026 Senilai Rp746,3 Miliar
kota
Wabup Atika Nasution Tegaskan RSUD Panyabungan Jadi Rujukan Utama di Tabagsel
kota
KAMAK Gelar Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, Libatkan Mahasiswa Hukum hingga Praktisi
kota
sumut24.co SILAEN, Pemerintah Kabupaten Toba secara resmi membuka Festival Gondang Naposo 2025 yang dilaksanakan di Desa Hutagaol Sihujur,
News
PERMAK Apresiasi Lapas Kota Pematangsiantar Transparan Status Narapidana Korupsi BTN dan ATK Dapat PB
kota
Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025
kota
Saipullah Nasution Dengar Curhat Warga Siulangaling Madina ,"Tak Pernah Liat kendaraan Roda Empat dan Pembangunannya Belum Merdeka"
kota
Perjalanan Menantang Demi Jumpai Warganya, Bupati Saipullah Nasution di Sambut Ratusan Masyarakat Siulangaling Madina dengan Rasa Haru
kota
sumut24.co TOBA, Wakil Bupati Toba Audi Murphy O. Sitorus kembali menjadi pembicara dalam sosialisasi tentang perlindungan terhadap anak di
News
Kolaborasi Dua Kapolres, Bawa 3,5 Ton Air Bersih Polres Padangsidimpuan Ringankan Beban Warga Garoga Tapsel
kota