Senin, 20 Oktober 2025

SOLUSI TERPADU UNTUK SENGKARUT KERETA CEPAT KCIC

Administrator - Minggu, 19 Oktober 2025 22:02 WIB
SOLUSI TERPADU UNTUK SENGKARUT KERETA CEPAT KCIC
Istimewa

Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph. D

Baca Juga:

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi "hot news" nasional. Ramai sekali perdebatan proyek yang dinyatakan rugi ini. Dirut PT. KAI menyebut utang PT. KCIC akan jadi bom waktu bagi kebangkrutan perusahaan. Keuntungan habis hingga merugi karena cicilan kereta cepat yang sangat besar. Tak lama, Menteri Keuangan Purbaya menyatakan tidak mau APBN ikut menanggung utang proyek Whoosh (KCJB) tersebut. Menkeu minta Danantara untuk membayar cicilan utang itu setiap tahunnya. Namun Danantara mengatakan bahwa dividen tidak untuk membayar utang, semuanya untuk investasi. Tentu saja ini jawaban yang kurang bertanggung-jawab. Polemik pun berlanjut, tidak berhenti sampai di sini. Dari kalangan netizen menuntut agar Jokowilah yang bertanggung jawab membayar utang ini.

Ada pula yang mengusulkan restrukturisasi utang. Usul yang aneh juga, karena tenor utang ke Bank Pembangunan Cina itu juga sudah sangat lama, 45 tahun. Mau diulur berapa lama lagi? Soal berubahnya suku bunga utang juga jadi pembahasan yang hangat. Terutama melejitnya bunga dari 0,1% oleh Jepang menjadi 3% di tangan Cina. Polemik ini terus berlanjut tidak berkesudahan. Yang jelas, negara ini tidak boleh berlarut-larut tanpa solusi ke depan. Sekarang, mari kita coba lihat akar persoalannya. Yaitu sejak dimulainya proyek raksasa ini di era presiden yang lalu. Presiden Jokowi boleh saja berambisi agar Indonesia menggenggam teknologi kereta cepat. Namun bagaimana mewujudkannya? Di sinilah biang masalahnya bermula. Ada "cognitive constraint" di sini.

Presiden Jokowi memang sangat lemah dalam perencanaan pembangunan. Akhirnya proyek tetap dipaksa dibangun tanpa perencanaan yang memadai. Bukan hanya kereta cepat, tapi hampir semua proyek infrastruktur, termasuk IKN. Proyek-proyek yang sudah digagas sebelum era Jokowi itu mengalami nasib yang sama. Dibangun serba terburu-buru, "project oriented", asal menghabiskan APBN hingga menumpuk utang. Semuanya itu akhirnya bermuara pada pencitraan politik. Tapi ya sudahlah, grasak-grusuk pembangunan infrastruktur di era Jokowi itu sudah menjadi sejarah. Kereta cepat ini sudah berjalan lancar dan jutaan orang sudah menikmati nyamannya naik whoosh. Termasuk Makcik dan Encik dari Malaysia yang berwisata kereta cepat sekaligus jalan-jalan ke Bandung. Ke depan, mari kita ambil pelajarannya untuk membangun berbagai jenis infrastruktur di tanah air.

Salah satu kesalahan fatalnya adalah pembangunan KCJB dilakukan sebagai proyek tunggal. Pembangunan kereta cepat pada dasarnya harus dilakukan secara terpadu. Baik dengan sistem perkeretaapian eksisting maupun dengan kawasan perkotaan yang mengitarinya. Infrastruktur transportasi yang berbentuk linier itu ibarat tulang punggung bagi tubuh. Sangat penting untuk menopang berkembangnya pusat-pusat kegiatan yang menjadi daging dan jantungnya. Oleh karena itu, pembangunan Kereta Cepat harus segera diikuti dengan program pengembangan lahan secara menjejaring. Baik di simpul-simpul stasiunnya maupun melalui pengembangan jejaring multi moda transportasi. Pemanfaatan lahan dan penguasaan tanah harus dikendalikan secara sangat ketat oleh otoritas publik. Baik melalui instrumen tata ruang, status tanah hingga lembaga-lembaga pelaksana pembangunan.

Proyek kereta api cepat itu memang tidak akan pernah bisa jadi bisnis yang menguntungkan. Untuk itu, pemerintah harus menyadari kesalahan perencanaan sejak awal ini. Kemudian segera mengembangkan kawasan di sepanjang koridor kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Konflik tata guna lahan pun harus diminimalisasi, terutama pada area-area strategis yang menjadi simpul bangkitan angkutan. Rencana tata ruang pun harus terkoneksi, baik antara infrastruktur dan zonasi ruang, maupun antar moda infrastruktur. Jadi, pembangunan kereta cepat itu tidak boleh lagi dibiarkan hanya menjadi proyek yang terisolasi. Apalagi pembangunan infrastruktur di wilayah metropolitan itu memang harus dijalankan dengan efisien karena melibatkan anggaran yang sangat besar.

Di Jepang, perencanaan terpadu di dalam kota dan antara kota-kota Tokyo, Osaka dan Nagoya dilakukan oleh MLIT atau "Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism". BUMN Japan Railway (JR, PT. KAI nya Jepang) dan BUMN Urban Development Corporation (UDC, Perumnasnya Jepang, sekarang bernama UR) otomatis bekerjasama mengembangkan jalur kereta dan simpul-simpul kawasan transit secara terpadu. Mengapa? Karena sama-sama di bawah satu kementerian MLIT. Jika JR mendapat pemasukan dari tiket dan sumber lainnya, maka UDC mendapatnya dari bisnis properti hasil peningkatan nilai lahan. Ada "land value gain capture management" di sana, yang mirip dengan pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 untuk kawasan urban. Pendekatan "government driven development" ini selain mengendalikan spekulasi tanah juga menghasilkan sumber pemasukan selain tiket kereta.

Simpul-simpul transit yang dibangun menggunakan konsep TOD itu akhirnya berkembang dan memberikan peningkatan nilai lahan yang signifikan dan menjadi pendapatan non-tiket. Begitu juga dengan terciptanya hunian berimbang, dimana di pusat area dibangun danchi (apartemen sewa murah) oleh UDC. Jika UR menguasai lahan dalam radius sekitar 200 meter, UDC di radius 500 meter, maka developer properti swasta mengembangkan lahan di radius 500 m s/d 2 kilometer dari stasiun. Pola pembangunan TOD seperti itu diterapkan untuk semua jaringan kereta. Mulai dari densha, kaisoku, tokkyu, hingga shinkansen. Konsep terpadu antara "public transport" dan "public housing" di Jepang itu akhirnya menjamin tersedianya "public facilities" lainnya di kawasan permukiman kota. Sekali lagi, ini mirip pengamalan amanat UUD 1945 untuk "memajukan kesejahteraan umum".

Lalu, apa sih persoalan Indonesia sebenarnya? Kenapa justru Jepang yang menerapkan dasar-dasar bernegara kita? Jawabannya hanya ketidak-konsekwenan dalam bernegara, termasuk hasrat pencitraan politik dari seorang presiden. Terkait dengan keterpaduan MLIT di Jepang, coba bayangkan, apa jadinya kalau model itu diterapkan di Indonesia? Ada tiga menteri yang terpaksa diberhentikan. Memang kesannya kejam, tapi kabinet ramping itu akan sangat menghemat APBN. Kabinet zaken itu mengefektifkan koordinasi dan bekerjanya teknokrasi. Aha! Tentunya ini harus jadi perhatian Menkeu Purbaya. Lalu, apa lagi masalah kita? Lagi-lagi korupsi yang merajalela! Dalam hal ini di beberapa Kementerian terkait proyek Kereta Cepat, seperti BUMN, Perhubungan, ATR, PU dan PKP.

Lihatlah Kementerian PU dan PKP beserta semua jajarannya di daerah. Regulator melupakan perannya untuk membangun sistem terpadu dan asyik jadi operator supaya bisa "main proyek" APBN. Apa dampaknya? Perumnas loyo, tanahnya habis dan PT. Pembangunan Perumahan berubah jadi kontraktor. Perumda jadi makelar suruhan kepala daerah yang berurusan dengan developer swasta. Rencana pemerintah membangun Kota Walini maupun Tegal Luar jadi batal. Semua kenaikan nilai lahan diliberalisasi, terserah developer swasta. Bahkan ada kabar para petinggi yang ikut-ikutan berspekulasi lahan di Padalarang dan Gedebage! Tidak ada lagi pengembangan kawasan siap bangun oleh pemerintah. Tidak ada proyek-proyek affordable housing seperti "danchi" di setiap simpul kereta di Tokyo.

Itulah persoalan Indonesia, dan masih ada banyak lagi. Lihatlah Kementerian ATR yang hanya jadi ajang oligarki berikut jajaran mafia tanahnya. Tata-ruang dijadikan tatar-uang dengan menciptakan ruang negosiasi peruntukan ruang. PT. KAI silahkan jalankan proyek KCJB sendiri dengan beban biaya yang sangat tinggi. Jika utang bisa buat bangkrut perusahaan maka berusahalah mengeruk APBN lagi. Yang penting proyek besar berhasil buat pencitraan. APBN terkuras habis, badan usaha negara dibiarkan berdarah-darah. Sementara elit penguasa dan oligarki menguasai tanah yang luas dan menikmati kenaikan nilai properti akibat pembangunan infrastruktur negara. Bah! Negara macam apa ini? Wah, wah, wah, ternyata seabrek-abrek masalah negeri ini.

Mudah-mudahan situasi sekarang ini belum terlalu terlambat. Semua prakondisi yang tidak dijalankan itu harus segera dibenahi oleh Danantara dan PT. KAI. Tujuannya bukan hanya untuk membayar utang, namun juga untuk mengembalikan pembangunan agar kembali ke jalurnya yang benar. Pembangunan kawasan terpadu di sepanjang koridor KCJB akan langsung menghilangkan beban pembiayaan oleh pemerintah. Jika Danantara menugaskan BUMN untuk itu, maka tidak perlu pakai dividen untuk menutupi cicilan utang. Secara stratejik pemerintah akan mampu mengubah proyek infrastruktur kereta cepat, dari beban biaya menjadi pertumbuhan ekonomi. Konsep pembangunan kawasan terpadu ini akan mengubah fokus, dari membangun kereta cepat sebagai proyek tunggal menjadi pengembangan kawasan ekonomi yang memberi "value capture and revenue generation". Semoga. ***

(Penulis adalah Staf Pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangana Kebijakan, SAPPK-ITB)

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Satpol PP Paluta Bentuk Tim Praja Reaksi Cepat, Indra Nasution : Langkah Nyata agar Tertib dan Aman
DPRD Padangsidimpuan Turun Tangan Cari Solusi Keresahan Guru, Srifitrah Nasution : Hak para Guru Tidak Bisa di Tawar
Temporary Connecting Facility PLN: Solusi Resmi, Aman, dan Efisien Untuk Kebutuhan Listrik Sementara
BPBD dengan cepat mendata dampak bencana cuaca ekstrem, hujan deras dan angin kencang yang terjadi Selasa
Respons Cepat Polres Padangsidimpuan, Antar Anak Tersesat Sampai Rumah
Bupati Asahan Dukung Percepatan Program Koperasi Merah Putih
komentar
beritaTerbaru