
Kasus Jalan Sumut Jalan Di Tempat, KPK Diduga Takut 'Geng Blok Medan'
Kasus Jalan Sumut Jalan Di Tempat, KPK Diduga Takut &039Geng Blok Medan&039
kotaBaca Juga:
Oleh: Irsyad Muchtar*
TANTANGAN begitu kuat ketika Gusdur hendak membubarkan Departemen Koperasi menyusul dua departemen lainnya yang sudah lebih dulu dipangkas, Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Menurut Gusdur, yang kala itu presiden RI (1999-2001) yang dikenal suka nyleneh, urusan Penerangan, Sosial dan Koperasi diserahkan saja ke ranah publik. Tetapi ia urung membubarkan Departemen Koperasi lantaran kuatnya permintaan bahwa koperasi masih perlu dibina oleh pemerintah.
Sebaliknya, kritisi Gusdur, koperasi justru sulit menyejajarkan sosoknya sebagai badan usaha, lantaran kentalnya campur tangan pemerintah. Sebagai badan usaha, koperasi harusnya bergerak di ranah komersial.
Maka, kritik Gusdur lagi, koperasi jangan melulu dininabobokan dengan konotasi 'sosial'. Sebagai badan usaha komersial, koperasi juga tidak pantas menunggu bantuan dan fasilitas murah pemerintah.
Di negeri asalnya, Inggris, ide koperasi lahir di tengah gemuruh mesin industri kaum kapitalis. Menyeruak di tengah para buruh miskin, yang hak-hak ekonomi mereka terampas oleh maruknya para penyembah harta dan kuasa.
Tetapi kesadaran membangun usaha kolektif itu tidak muncul dari lorong gelap dan kumuh para pekerja kelas bawah. Koperasi justru lahir top-down, di tengah selera 'humor' kaum kapitalis.
Robert Owen mungkin salah satu dari sosok sang kapitalis yang humoris itu. Kita sebut ia lucu lantaran idenya yang aneh tentang harta. Dalam kredo kapitalis, posisi harta ditempatkan sebagai yang tertinggi, kekayaan untuk kepuasan individu. Tetapi bagi Owen, juragan pabrik tenun pertama di Manchester, Inggris, ia merasa punya salah besar jika membiarkan kesengsaraan para buruh pabrik oleh eksploitasi upah rendah dan jam kerja tak manusiawi.
Ia menghapus ketimpangan itu dengan sistem kerja yang tidak melulu mengeruk untung. Ia bangkitkan kesadaran hak-hak buruh untuk hidup dan diperlakukan lebih layak. Owen tidak asal ngomong. Ia buktikan pemberdayaan itu dengan pengurangan jam kerja, menaikan upah, dan hak pendidikan bagi keluarga buruh. Kata Owen, hanya dengan cara berkoperasi, kita bisa mengindahkan kemanusian.
Bertahun kemudian, ketika Schumacher, penulis buku "Small is Beautiful" itu berbicara di depan rapat umum Africa Bureau, London, 1966, ia berujar hak yang sama. Bahwa, pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang, pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga unsur itu, semua sumber daya akan tetap terpendam dan hanya menjadi potensi belaka. Whisful thinking.
Di Indonesia, Wiriaatmadja, bukanlah buruh pabrik yang kesadaran sosialnya muncul untuk melawan kaum modal. Ia birokrat bergelar Patih di Purwokerto yang pada 1896 mendirikan bank untuk melindungi pegawainya dari jerat 'lintah darat'. Wiriatmadja memang tak membangun usaha koperasi, tetapi inisiasinya memberi perlindungan bagi kaum lemah, (sebenarnya tidak pas juga, karena kebanyakan yang ia tolong adalah pegawainya sendiri) dianggap sebagai kesadaran awal lahirnya pemikiran koperasi di masa pergerakan kebangsaan 1908.
Lantaran kepedulian terhadap kelas bawah tertindas itukah maka koperasi jadi lekat dengan makna sosial? Sementara, istilah 'komersial' seperti tidak mendapat tempat. Ketika Gusdur mengatakan koperasi harus komersial, ia tak sepenuhnya keliru. Bukankah, saat berdirinya, koperasi diingatkan sebagai alat ekonomi yang harus mengail untung.
Dalam bukunya, "Chances of Co-operatives in the future", Hans Munkner mengatakan, kendati koperasi dibentuk dengan modal manusia, tetapi pelayanan optimal terhadap anggota hanya mungkin dicapai jika perusahaan koperasi layak secara ekonomi.
Dalam konteks ini, meskipun penting tapi koperasi tidak menekankan peranan modal bagi kelangsungan usaha. Padahal, tanpa menciptakan dasar keuangan yang kuat, sulit bagi koperasi memenuhi layanan untuk anggota. Dan ini dilema.
Yang mengganjal, karena segala sesuatu yang berbau komersial, acapkali mengorbankan nilai yang bernama kebersamaan. Sementara visualisasi tentang kebersamaan acapkali dipojokkan pada konotasi kaum kiri. Tentu saja kita tidak peduli, ketika tembok Berlin runtuh, terminologi kiri dan kanan itu sudah tidak jelas. Seperti halnya, celoteh Presiden Gusdur ketika ditanya, apa tolok ukur bagi koperasi yang dianggap sudah maju. Enteng saja, jika sudah tak perlu lagi bantuan pemerintah. Gitu aja koq repot.
Penulis Irsyad Muchtar* : Pemimpin redaksi Majalah PELUANG, Penulis Buku 100 Koperasi Besar Indonesia.
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google NewsKasus Jalan Sumut Jalan Di Tempat, KPK Diduga Takut &039Geng Blok Medan&039
kotaMedan Suasana hangat penuh kebersamaan dan nostalgia menyelimuti kampus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU), saat
kotasumut24.co ASAHAN, Personel Satuan Polisi Perairan dan Udara (Satpolairud) Polres Asahan melaksanakan kegiatan Jumat Berkah bersama masyar
Newssumut24.co ASAHAN, Unit Opsnal Satres Narkoba Polres Asahan berhasil mengamankan seorang pria yang diduga kuat terlibat dalam peredaran nar
Newssumut24.co ASAHAN, Rasa aman di tengah masyarakat menjadi kunci terciptanya kehidupan sosial yang tenang dan pembangunan daerah yang berkel
Newssumut24.co ASAHAN, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asahan menyampaikan duka cita yang mendalam atas musibah longsor di lokasi tambang batu pa
Newssumut24.co Padang Lawas, Bupati Padang Lawas (Palas) Putra Mahkota Alam Hasibuan meegaskan pemberhentian Kepala Desa Ujung Batu IV, dilakuk
NewsHarun Masiku Dicari, Muryanto Amin Dinanti
kotaRayakan Hari Pelanggan Nasional, Bank Sumut Apresiasi Nasabah di Seluruh Unit Kantor Medan Sumut24.co PT Bank Sumut merayakan Hari Pelangga
NewsMedan sumut24.co Kapolsek Medan Baru, Kompol Hendrik Aritonang melalui Kanit Reskrim Iptu Poltak Tambunan kepada wartawan mengatakan bahwa
Hukum