Medan | Sumut24
Bersahaja dengan kemeja batik, Ahmad Fuadi hadir di Medan beberapa waktu yang lalu. Dihadapan remaja putra dan putri ia mengisi seminar inspirasi, untuk memotivasi para remaja yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi beberapa waktu lalu di Medan. Pengarang novel Negeri 5 Menara ini mulai dikenal karena bukunya yang best seller dan
kemudian diangkat ke layar lebar. Kepada MedanBisnis, pria yang disapa Fuadi ini berkisah ketika ia menikmati pendidikan di pesantren dan apa keinginannya kedepan. Suami dari Danya Dewanti ini merupakan sosok dengan motivasi tinggi dan pekerja keras. Orang tuanya berprofesi sebagai guru, ibunya seorang guru SD, sedangkan ayahnya adalah guru
sekolah madrasah.
Memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo dan lulus pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan kuliah
Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, setelah lulus
menjadi wartawan Tempo. Tahun 1998, dia mendapat beasiswa Fulbright
untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George
Washington University. Merantau ke Washington DC istrinya. Sambil
kuliah, ia bersama istri menjadi koresponden Tempo dan wartawan VOA.
Menulis bagi Fuadi adalah membebaskan dalam makna yang luas, ada orang
yang membebaskan pemikirannya, yang selama ini numpuk di kepala, jadi
dibebaskan lewat tulisan. Ada orang yang bilang menulis itu
menyembuhkan, mungkin dari stress ketika dituliskan menjadi senang.
Kalau baghi saya menulis, memberi kesempatan bagi saya untuk
mempraktekan nasihat guru-gurunya ketika di pesantren dulu. “Jadilah
manusia yang membawa manfaat buat banyak orang, salah satu jalan
paling gampang membawa manfaat itu dengan menulis, karena modalnya
hampir gak ada. Kalau misalnya kita bersedekah dengan harta, sedikit
banyak harus ada hartanya,” ceritanya.
Selama ia menulis novelnya yang pertama ia membaca buku Khalid Husaini Kite Runner, buku karangan Pramodya Ananta Toer, Andrea Hirata, Enid Blyton dan JK Rowling dengan
Harry Potter- Proses menulis ia mulai di tahun 2007-2008, 2009 bukunya
nya. Jadi berbagai bacaan itu ada yang berkontribusi dalam buku. Dari
kecil suka membaca dengan 5 Sekawan.
“Kalau menulis yang kita butuhkan hanya cerita kita, hati kita yang
bercerita, riset kita dan itu efeknya bisa luar biasa. Bisa melintas
zaman, melintas waktu, dan melintas batas geografis, melintas budaya,
melintas agama,” lanjutnya. Pada tahun lalu, 2014 Fuadi diundang untuk
memberikan kuliah di Univercity California karena dengan menulis, dan
bukunya juga dijadikan buku wajib buat mata kuliah disana. Dan itu
mata kuliah tentang understanding the culture festia. “Dan itu hanya
terjadi kalau karena kita menulis, kalau tidak siapa sih saya yang
bisa dipanggil ke salah satu universitas terbaik di Amerika. Dan itu
tiap tahun pasti ada saja undangan, ke Australia, ke Jerman, karena
menulis,” ungkap ayah dari satu putra ini.
Indonesia merupakan negara kaya raya dengan kultur dan budaya, dalam
budaya itu ada cerita, ada hikayat, ada pengalaman, dan Fuadi melihat
potensi ini sebagai nilai positif yang bisa di share ke dunia luar.
“Jika biasanya negara kita hanya mengirim bentuk seni budaya yang bisa
ditampilkan mulai dari lagu, tari, lukisan, tapi justru konten cerita
itu belum banyak yang dituliskan. Kalaupun dituliskan dia belum
diterjemahkan. Nah saya pingin membawa kekayaan filosofi dalam bentuk
cerita yang berlatarkan Indonesia ini, ke dunia luar,” kisahnya. Bagi
Fuadi sudah selayaknya cerita rakyat kita dikenal dan Indonesia punya
banyak kekayaan cerita, cuma sayang menurutnya belum banyak diketahui,
salah satu tantangannya ada di bahasa.
Banyak penulis di Indonesia menulis dalam bahasa Indonesia, tapi di
dunia banyak dalam bahasa asing. Yang berbeda dengan India dengan
masyarakatnya banyak atau mampu berbahasa Inggris. Atau bahkan di
Malaysia itu punya badan penerjemahan nasional, jadi banyak penulis
terbantu dengan lembaga seperti itu. Nah di Indonesia menurut Fuadai
itu belum ada, jadi banyak penulis berjuang sendiri-sendiri.
Buku Negeri 5 Menara, karangannya sudah diterbitkan oleh penerbit
dalam bahasa Inggris, tapi itu bukan gerakan nasional. “Bagi saya
kalau boleh memberikan masukan kepada kementrian yang terkait di
Indonesia, bagus juga dibikin sebuah badan atau lembaga penerjemahan
dari Indonesia untuk dunia, yang kita bawa adalah kultur kita, ceritas
kita. Ini adalah tentang diplomasi budaya, diplomasi ide, bagaimana
orang akan tau ide kita kalau cerita kita tidak pernah dikenal,”
jelasnya bersemangat.
Saat ini Ahmad Fuadi sangat menikmati dunia menulisnya dan tidak ingin
kembali bekerja di media menjadi jurnalis. Baginya menulis akhirnya
menjadi medianya untuk menyampaikan pesan ke khalayak. “Jika di media
menulis harian, mingguan atau bulanan, mungkin beberapa waktu orang
akan lupa. Tapi kalau menulis buku, itu akan mudah diingat orang,”
jelas pria yang menekuni profesinya sebagai penulis sejak 2007 ini.
Untuk menulis sebuah novel, Ahmad Fuadi bisa menghabiskan waktu
sekitar dua tahun, seperti saat ia menuliskan novel Negeri 5 Menara,
yang mulai ia tulis di tahun 2007 sampai 2008, kemudian diterbitkan
pada 2009. Dan saat ini Fuadi sedang dalam proses menulis prekuel dari
trilogi dari buku sebelumnya.
Novel yang dalam proses, mengangkat cerita mengikuti kronologis cerita
tokoh utama pada novel sebelumnya. Dan kali ini ceritanya akan mundur
kesebelum kisah dalam Negeri 5 Menara. Makanya prekuel, dengan
mengangkat latar belakang budaya kampung di Minang. Karena prekuel ini
bercerita sebelum si tokoh utama merantau.
Menurutnya sebagai lulusan pesantren kultur dahulu sangat berbeda
dibandingkan dengan kultur anak sekarang, pertama karena zaman alat,
gadget dan sebagainya. Pengalamannya masuk dan hidup di pesantren
memberikan nilai tersendiri baginya. Di pesantren itu sebuah
lingkungan yang diciptakan sedemikian rupa untuk memaksimalkan waktu
para santri untuk mendalami atau mengasah kemampuannya. Fuadi mulai
menjalani dunia pesantren saat usia 15 tahun, selama 4 tahun dia di
pesantren. Kehidupan di pesantren menurut Fuadi sangat efektif, karena
jadwal dibikin untuk menjadi produktif, semuanya ada mulai bermain,
olahraga, belajar, bikin drama bermusik ada, tapi sudah dibikin dan
didesain untuk memaksimalkan kita.
“Sedang di zaman sekarang, mungkin bagus juga orang tua atau sekolah
membuat jadwal yang cukup fleksibel tapi ada tujuan-tujuan ditiap
jadwal itu. Anak-anak tidak bisa kita kekang, tapi kita tetapkan ada
agenda-agenda tertentu. Misalnya dulu di pesantren setiap pagi kita
harus menyetor buku mengarang setiap hari, tapi tidak panjang hanya
dua alinea saja, tapi artinya tiap pagi kita akan siapkan waktu untuk
menulis dengan teratur. Lalu ada waktu latihan pidato, sebelum pidato
kita harus nulis teksnya dan harus diperiksa, ada agenda nanti khusus
lari pagi rame-rame, selalu ada agenda dan ada nilai-nilai dari agenda
itu. Dan itu 24 jam, karena dalam satu lokasi,” kisahnya sembari
mengenang masa saat di pesantren.
Berbeda dengan anak di luar pesantren yang jika pulang sekolah
langsung pulang, jika di pesantren sehabis sekolah kembali ke asrama,
dan di asrama ada kegiatan lagi, bahkan malam saja ada jadwal
siskamling untuk menciptakan tanggung jawab santri. Tidak bisa
diterapkan didunia luar pesantren tapi mungkin ada yang bisa diambil,
jadi ada kontent-kontent kegiatan yang bisa diambil manfaatnya. Sense
of belonging besar, tanggung jawab dan karakter kemudian terbentuk
juga.
“Saya banyak melihat isi konten media kita sekarang banyak isinya
kasus korupsi, mungkin bukan sekarang aja tapi karena baru sekarang
yang ketahuan. Kita lihat koruptor ini bukan orang miskin, bukan juga
orang yang kurang pendidikan, artinya mereka mampu secara ekonomi juga
secara intelektual, lalu apa yang kurang mungkin adalah miskin
karakter, kurangnya karakter,” katanya mengungkapkan keresahannya.
Berdasarkan pandangannya ini Fuadi pun menirikan Yayasan 5 Menara,
yaitu pendidikan dini gratis untuk dhuafa.
“Karakter ini ditanam, menurut beberapa penelitian karakter baik
ditanam pada anak pra sekolah. Di usia 3,4,5,5,6 itu usia krusial
sekali sebelum 7 tahun. Maka saya bersama teman-teman pembaca kita
bikin sekolah gratis pra sekolah (Pendidikan Anak Usia Dini) komunitas
5 Menara, sudah jalan sejak tahun 2011, sudah ada di 4 lokasi terbagi
di Bintaro Jakarta, Bogor, Sulawesi Selatan di Goa, dan Sumatera
Barat. Dan ini kita selain apa yang diajarkan di tk atau paud lain,
kita tanamkan sifat jujur, kerja keras, man jadda wa jadda, mudah
mudahan nanti ini bertahan saat mereka tumbuh dewasa,” jelasnya.
Kedepan Fuadi memfokuskan profesinya dengan dunia menulis dan aktif
dalam kegiatan sosial.(W04)