Minggu, 21 Desember 2025

Golkar Sumut di Bawah Ijeck: Stabil Elektoral, Rapuh Institusional

Administrator - Sabtu, 20 Desember 2025 02:32 WIB
Golkar Sumut di Bawah Ijeck: Stabil Elektoral, Rapuh Institusional
Istimewa
Baca Juga:

Oleh: Pemerhati Sosial Politik UMSU, Shohibul Anshor Siregar

Dari sudut pandang akademik, kepemimpinan Musa Rajekshah (Ijeck) di DPD Partai Golkar Sumatera Utara merepresentasikan sebuah paradoks klasik dalam studi partai politik: stabil secara elektoral, namun rapuh secara institusional.

Tidak dapat disangkal, selama periode kepemimpinan Ijeck, Golkar tetap menjadi kekuatan politik dominan di Sumatera Utara. Partai ini konsisten menunjukkan performa elektoral yang solid, baik dalam pemilu legislatif maupun dalam konsolidasi jejaring elite daerah. Mesin politik Golkar bekerja, kursi legislatif aman, dan jaringan kekuasaan relatif terjaga.

Namun stabilitas tersebut lebih bertumpu pada kapasitas personal, sumber daya, dan jejaring kekuasaan figur, bukan pada penguatan mekanisme organisasi partai yang demokratis, transparan, dan berkelanjutan.

Antara Partai Modern dan Logika Oligarkis

Dalam teori partai politik modern, kekuatan elektoral seharusnya berjalan beriringan dengan kesehatan internal. Partai tidak hanya dituntut menang pemilu, tetapi juga mampu membangun sistem kaderisasi, tata kelola organisasi yang akuntabel, serta ruang deliberasi internal yang sehat.

Sayangnya, irama ini bukan gendang dan rentak tari khas Golkar. Ini bukan semata problem Sumatera Utara, melainkan dilema struktural Golkar secara nasional yang hari ini tak lebih dari sekadar instrumen penting dalam permainan realpolitik kekuasaan nasional.

Jika Ketua Umum sekelas Airlangga Hartarto saja dapat digeser secara brutal, maka persoalan Musa Rajekshah di tingkat daerah sesungguhnya hanyalah fragmen kecil dari fenomena besar Golkar kontemporer.

Sentralisasi dan Pemiskinan Nalar Organisasi

Dalam konteks Golkar kekinian, termasuk di Sumatera Utara, sentralitas kepemimpinan menunjukkan kecenderungan pemiskinan nalar pengambilan keputusan kolektif. Dalam jangka pendek, model ini memang terlihat efektif: keputusan cepat, garis komando tegas, dan konflik seolah terkendali.

Namun dalam jangka panjang, pola tersebut sangat berpotensi melemahkan kaderisasi, menumpulkan partisipasi internal, serta menciptakan ketergantungan berlebihan pada figur tertentu. Partai tampak solid dari luar, tetapi sesungguhnya rapuh di dalam.

Pergantian Mendadak Plt: Gejala Problem Tata Kelola

Pergantian mendadak Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Golkar Sumut patut dibaca secara akademik sebagai sinyal problem tata kelola partai, bukan semata urusan teknis organisasi.

Dalam ilmu politik, perubahan kepemimpinan yang tiba-tiba dan minim penjelasan publik lazim menunjukkan adanya ketegangan elite, intervensi struktural dari pusat, atau ketidakselarasan kepentingan politik komando.

Yang justru mengherankan, pergantian ini tidak terjadi dalam momentum elektoral krusial. Hal ini menegaskan bahwa keputusan tersebut sulit dijelaskan dengan dalih kepentingan strategis pemilu, dan lebih mencerminkan logika kompromi elite.

Ijeck dan Ketidakadilan Politik

Musa Rajekshah dapat dikatakan mengalami ketidakadilan politik ketika haknya untuk maju dalam Pilgub Sumut 2024 dirampas, padahal ia telah menunjukkan nilai kesuksesan elektoral yang nyata.

Berbeda dengan Akhyar Nasution di Medan yang tetap maju meski partainya menarik dukungan, Ijeck tidak memilih jalur pembangkangan terbuka. Ia tunduk pada keputusan partai, meskipun keputusan tersebut mengabaikan prestasi dan loyalitas politiknya.

Fenomena ini memperkuat tesis bahwa Golkar, meskipun dikenal sebagai partai mapan, masih beroperasi dengan logika oligarkis, di mana keputusan strategis lebih ditentukan oleh kompromi elite nasional ketimbang aspirasi kader daerah.

Jika pola ini terus dibiarkan, konsekuensinya serius: demoralisasi kader, erosi kepercayaan publik, dan melemahnya posisi Golkar di tingkat akar rumput.

Figur Bukan Masalah Utama

Seorang ilmuwan politik akan melihat bahwa tantangan utama Golkar Sumut hari ini bukan semata soal figur, melainkan transformasi kelembagaan. Tanpa pembenahan tata kelola internal, transparansi kepemimpinan, serta penghormatan terhadap mekanisme organisasi, Golkar berisiko terjebak dalam paradoks berbahaya: kuat dalam kekuasaan, tetapi lemah dalam demokrasi internal.

Catatan Pengalaman Pribadi

Pada Juli lalu, saat memberikan ceramah dalam acara pembekalan legislator Partai Golkar Sumut, seorang peserta dari Dairi bertanya, "Golkar Sumut segera akan bermusyawarah pergantian pengurus. Siapa figur yang tepat memimpin ke depan?"

Jawaban spontan saya waktu itu adalah: Golkar Sumut seharusnya memiliki kriteria kinerja yang objektif, disusun berdasarkan capaian nyata dan disesuaikan dengan program nasional di bawah kepemimpinan Ijeck—di antaranya target Sumut 1, penggemblengan sejuta kader, serta kemenangan pemilu.

Jika prestasi dijadikan patokan utama, maka Ijeck tidak layak disamanasibkan dengan Airlangga.

Namun politik Golkar, sebagaimana sering terjadi, bukanlah sekadar soal prestasi, melainkan tentang kecocokan dengan orbit kekuasaan nasional.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Ijeck Serahkan Sepenuhnya ke Bahlil
Berhentikan Ijeck, Bahlil Pengkhianat GOLKAR
DPP Golkar Dinilai Abaikan Sumut: Dua Kali Ajukan Musda, DPD Golkar “Tak Dianggap” Meski Jadi Juara Pemilu
Ijeck Digantikan Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Sekretaris Golkar Sumut Ilhamsyah : Saya Mengundurkan Diri, Ada Yang Tidak Baik Di Partai Golkar !
Ijeck Sambut Ketum Golkar Bahlil Lahadalia: Apresiasi Kinerja dalam Pemulihan Bencana di Sumatera
Golkar Salurkan Bantuan Sembako untuk Warga Terdampak Bencana di Tapanuli Selatan
komentar
beritaTerbaru