Rabu, 08 Oktober 2025

“Sweet Fulus” di Kursi Gubernur Bank Indonesia — Ketika Integritas Lembaga Negara Diuji Uang

Administrator - Senin, 06 Oktober 2025 11:43 WIB
“Sweet Fulus” di Kursi Gubernur Bank Indonesia — Ketika Integritas Lembaga Negara Diuji Uang
Istimewa
Baca Juga:

Oleh: H. Syahrir Nasution, Pemerhati Sosial dan Ekonomi

"Bayar, bayar, bayar untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia."
Kalimat itu bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan jeritan nurani melihat semakin kaburnya batas antara integritas dan transaksi dalam proses penentuan pejabat strategis negeri ini.

Disinyalir, dalam rangka fit and proper test calon Gubernur Bank Indonesia di Komisi XI DPR RI, harus ada "uang pemanis" — atau dalam istilah yang lebih satir saya sebut "sweet fulus" — agar seorang kandidat bisa "goal" menduduki kursi empuk Gubernur BI. Ironisnya, praktik tersebut bahkan dikemas dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), seolah-olah uang pelicin itu adalah sumbangan sosial.

Padahal, CSR adalah ranah dunia korporasi — bukan lembaga negara.
Ketika Bank Indonesia, lembaga yang sejatinya menjadi penjaga moral moneter dan kestabilan ekonomi nasional, ikut dipersepsikan bermain di wilayah "CSR politis", maka publik patut bertanya:
Apakah BI masih menjadi lembaga independen, atau sudah berubah menjadi "perusahaan" yang membayar untuk mendapatkan kepercayaan politik?

Ujian Integritas

Fit and proper test seharusnya menjadi ruang pengujian moral, visi kebijakan, dan kapasitas profesional calon pejabat publik. Namun, jika ruang itu telah bergeser menjadi arena transaksi, maka yang terpilih bukanlah yang terbaik, melainkan yang terkaya.
Di sinilah kemunduran etik bangsa bermula — ketika jabatan strategis ditentukan bukan oleh kualitas, melainkan oleh amplop yang paling tebal.

Bahaya Sistemik

Bayangkan dampaknya jika dugaan ini benar terjadi. Seorang Gubernur BI yang "membayar" untuk duduk tentu akan mencari cara untuk "mengembalikan modalnya". Keputusan moneter, kebijakan suku bunga, hingga arah stabilisasi nilai rupiah bisa terkontaminasi oleh kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan rakyat banyak.
Maka, "sweet fulus" hari ini bisa menjadi "bitter economy" besok.

Saatnya DPR dan BI Buka Diri

Kita tak ingin tudingan ini sekadar lewat tanpa tanggapan. Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia wajib membuka diri, menunjukkan transparansi proses seleksi, dan memastikan bahwa tak ada satu rupiah pun uang pelicin yang berputar di balik fit and proper test.
Jika tidak, kepercayaan publik terhadap BI — sebagai simbol stabilitas keuangan negara — akan runtuh.

Bangsa ini sudah terlalu lama membiarkan politik uang merusak sendi-sendi pemerintahan. Jangan biarkan penyakit itu menjalar ke lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral ekonomi nasional.

Karena jika untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia saja harus "bayar", maka yang sejatinya memimpin bukanlah penjaga rupiah, melainkan penjaga amplop.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Ismail Nasution
Sumber
:
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Inflasi Sumut Sudah Melewati Standart
Terbukti Tidak Menerima Aliran Uang, ex jubir gugus tugas COVID 19 Prov. Sumatera Utara Dapat Keadilan di Mahkamah Agung.
Bawa Narkoba Pakai Mobil Fortuner, Pria Asal Labura Ditangkap Polisi Di Tanjungbalai
25 Tahun Biznet, Berkomitmen Bawa Indonesia ke Era Infrastruktur Digital yang Sempurna
Dugaan Korupsi Pasar Cinde Palembang, Mantan Gubernur Sumsel Diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum
Memperkuat Sinergi Pembangunan Ekonomi Daerah, Bupati Asahan Terima Audiensi BI
komentar
beritaTerbaru