
Mau Liburan ke Medan? Intip Dulu 5 Rekomendasi Wisata Kuliner yang Wajib Dikunjungi!
sumut24.co MedanMedan tak hanya dikenal sebagai kota besar di Pulau Sumatra, tetapi juga sebagai surga kuliner yang selalu berhasil memanj
EkbisBaca Juga:
- Bupati Dan Wakil Bupati Bersama Forkopimda Asahan Bagi Bendera Merah Putih di Jalan
- Letnan Dalimunthe akrab Bincang Dengan Bobby Nasution saat Hadiri 3rd International Indonesia Pencak Silat Open Championship 2025 di Sumatera Utara
- Prof Budi Djatmiko: Kampus Indonesia Harus Tembus World Class University dan Perluas Akses Mahasiswa
Di bawah langit yang mulai kehilangan warna merah-putihnya, sehelai kain dengan simbol bajak laut berkibar di tiang bendera. Bukan tanpa makna, bendera "One Piece" yang dikibarkan anak muda itu bukan simbol pemberontakan, tapi jeritan sunyi atas luka kekecewaan. Mereka, yang lahir puluhan tahun setelah proklamasi, merasa asing terhadap narasi kemerdekaan yang terus didengungkan. Ada jurang lebar antara semangat para pendiri bangsa dan realitas kekinian yang membelenggu rakyat. Janji tentang tanah air yang adil dan makmur seperti tinggal slogan di mural jalanan. Mereka pun mencari: di mana sebenarnya "sepotong cita-cita bangsa" itu kini bersembunyi?
Cita-cita bangsa bukanlah benda mati yang bisa dibingkai dan disimpan di museum. Ia adalah harapan yang hidup dalam perut kenyang rakyat, dalam sekolah yang gratis dan bermutu, dalam tanah yang dikelola sendiri oleh petani. Tetapi zaman ini, seperti bajak laut yang haus harta, mencuri semua itu tanpa ampun. Sumber daya digadai, hukum dijual, keadilan dimanipulasi dengan wajah birokrasi. Para pemimpin sibuk berselancar di atas ombak kekuasaan, melupakan dermaga tempat rakyat menunggu. Di tengah badai, para pemuda mencoba meraba kembali arah kompas perjuangan. Sayangnya, yang mereka temukan hanya serpihan peta yang robek—dan kisah masa lalu yang tak pernah selesai dituliskan.
Simbol "One Piece" bukan sekadar budaya populer dari negeri seberang; ia telah berubah menjadi metafora. Ia mewakili pencarian panjang akan makna, nilai, dan arah—sesuatu yang dirindukan tapi tak kunjung ditemukan. Dalam dunia fiksi, para kru bajak laut berlayar untuk mencari harta karun legendaris. Di dunia nyata, para pemuda bangsa justru mencari kembali nilai-nilai luhur yang hilang entah sejak kapan. Mereka tidak sedang bercanda ketika mengganti merah-putih dengan tengkorak tertawa; mereka sedang bersedih dengan cara yang lain. Karena mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya berharap. Mereka ingin bicara, tapi bahasa keadilan sudah tidak dipahami penguasa.
Kita tidak sedang menghadapi generasi yang tidak tahu diri. Kita justru sedang menyaksikan generasi yang terlalu lama memendam diri. Mereka tumbuh dalam tumpukan data kemiskinan, krisis iklim, dan janji-janji yang basi. Ketika mereka bersuara dengan simbol yang berbeda, itu bukan penghinaan, tapi peringatan. Bahwa ada yang rusak dalam sistem, dalam ingatan kolektif, dalam arah kebangsaan. Dan bila simbol bajak laut lebih menggugah dari pidato kenegaraan, maka kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya gagal menjaga simbol? Siapa yang mencuri "sepotong cita-cita" itu dari hati rakyat?
Negara ini terlalu sibuk menjaga wajahnya, lupa menjaga jiwanya. HUT ke-80 bukan sekadar perayaan, melainkan pengakuan: bahwa setelah delapan dekade, kita belum benar-benar merdeka dari kelalaian kita sendiri. Rakyat masih miskin, hukum masih lentur bagi yang berkuasa, dan pendidikan belum menjadi senjata yang adil. Pancasila menjadi puisi yang dipaksakan dihafal, bukan nilai yang dipahami dan dijalankan. Maka simbol "One Piece" justru terasa lebih jujur: ia tidak berpura-pura. Ia mencerminkan bangsa yang tercerai berai dalam semangat, dan kehilangan satu tujuan bersama. Sebuah cita-cita yang tercecer entah di mana.
Kini, saat bendera asing dari dunia fiksi berkibar di tanah sendiri, bukan saatnya mengutuk yang mengibarkan. Tapi saatnya merenung: bagaimana mungkin generasi yang lahir dari rahim kemerdekaan justru merasa lebih dekat dengan dunia fiksi ketimbang realitas bangsanya sendiri? Ini bukan soal nasionalisme yang rapuh, tapi kepercayaan yang dirampas. Rasa memiliki tak tumbuh dalam ruang yang tidak adil. Para muda-mudi itu mencari, bukan harta, tapi makna. Mereka ingin percaya bahwa bangsa ini masih bisa kembali ke cita-cita awalnya. Tapi keyakinan itu makin sulit ditemukan, seperti harta karun yang hanya tinggal dongeng.
Akhirnya, pertanyaan itu menggantung di angin Agustus yang lembab: apakah kita masih punya arah? Bila cita-cita bangsa itu benar-benar telah dicuri zaman, siapa yang akan berani mencarinya kembali? Bukan dengan kekerasan, bukan dengan kemarahan, tapi dengan kejujuran dan keberanian mengakui kesalahan. Kita perlu kembali menyusun peta, menghidupkan kembali nilai yang telah dikorbankan atas nama pembangunan. Karena bangsa yang kehilangan cita-cita, tak ubahnya kapal tanpa layar. Dan sebelum semuanya karam, semoga ada yang berani menyalakan lentera di geladak harapan. Mencari One Piece itu bukan khayal—itu tugas sejarah kita bersama. ***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google Newssumut24.co MedanMedan tak hanya dikenal sebagai kota besar di Pulau Sumatra, tetapi juga sebagai surga kuliner yang selalu berhasil memanj
EkbisOne Piece Mencari Sepotong CitaCita Bangsa yang Hilang Dicuri Zaman
kotaKPK Tahan Mantan Dirut Hutama Karya dan Eks Kepala Divisi Terkait Korupsi Lahan Tol Trans Sumatera
kota2 Tahun Dana Desa Rugemuk Diduga Dikorupsi, Kepala Desa Akui Diperiksa Polres Delisersang
NewsPanitia Seleksi Kepala Bapenda Medan Dinilai AbalAbal, Nama Calon Terpilih Diduga Sudah Bocor
KotaRapat Koordinasi Pemkab Solok dan Panitia KBSS 2025 Siap Dukung Penuh Event Komunitas Skuter seSumatera
kotaKetua IKA PMII Medan "Urusan Apa ASN Diboyong ke Jatinangor di Hari Kerja?"
kotaHendra Dermawan Siregar Dinilai Tak Layak Didefinitifkan Jadi Kadis PUPR Sumut
kotaDireksi Tirtanadi Wajib Memiliki SKKNI di Bidang SPAM
kotaPresiden Prabowo Gunakan Kereta Cepat Whoosh Menuju Jawa Barat
News