Jumat, 27 Juni 2025

Pandangan Hukum Kasus Amak Shinta

Administrator - Jumat, 15 April 2022 23:05 WIB
Pandangan Hukum Kasus Amak Shinta

Oleh : Joni Sandri Ritonga, SH.,MH Advokat/Praktisi Hukum

Baca Juga:

Mencermati persoalan hukum yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat yang ramai diperbincangkan di media massa tentang kasus yang menimpa Amak Shinta yang diduga melakukan pembunuhan terhadap begal. Sementara di sisi lain oleh masyarakat dianggap sebagai upaya pembelaan diri, sehingga dianggap tidak pantas untuk dilakukan penyidikan dan dijadikan tersangka.

Pandangan hukum saya dibagi menjadi 2 hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan Kajian Pasal 48 KUH Pidana Yang berkaitan dengan Daya Paksa.

Konsep overmacht atau yang sering disebut sebagai daya paksa merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini tampak pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah mencantumkan hal tersebut di dalamnya. Pada Pasal 48 KUHP, dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

Dalam Pasal 48 KUHP tersebut diatur mengenai daya paksa yang merujuk pada konsep daya paksa dalam Hukum Pidana. Memorie van Toelichting (Penjelasan Umum KUH Pidana ) menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.

Jika melihat pada rumusan dari Pasal 48 KUHP tersebut, maka dapat dipahami bahwa daya paksa menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana.

2. Berdasarkan Kajian Pasal 49 KUH Pidana yang Menyangkut Pembelaan Terpaksa

Di dalam Hukum pidana, pasal 49 dikenal istilah “noodweer“ atau pembelaan terpaksa. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pembelaan Terpaksa dibedakan menjadi dua, yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas)

Pasal 49 KUHP merumuskan sebagai berikut:

Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pembelaan terpaksa (noodwer) dilakukan oleh pelaku benar-benar dalam keadaan terpaksa dalam batas batas yang wajar, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan demi mempertahankan diri, nyawa dan hartanya, tindakan pelaku adalah tindakan yang wajar dan terbatas untuk melumpuhkan lawan secara terukur (efisien dan efektif ).

Jika Amak Shinta terbukti melakukan perlawanan terhadap begal (yang terbunuh) tersebut secara wajar dan logis, maka tindakannya tersebut tidak dianggap sebagai tindakan pidana yang dapat diajukan ke ranah pidana sampai ke persidangan. Karena tindakan Amak Shinta bisa dimasukan kepada tindakan yang mengandung unsur “pembenar “.

Namun demikian, yang perlu didalami selanjutnya, apakah ada serangan sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga yang dilakukan oleh para begal terhadap Amak Shinta . Tapi, jika si pembegal dan barangnya (speda motornya) telah bisa diambil dan pembegal telah bisa dilumpuhkan, maka Amak Shinta tidak boleh membela dengan menambah lagi pemukulan dan penusukan lagi sampai menewaskan begal. Jika , karena pada waktu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pembegal tetapi masih dilakukan penusukan yang menewaskan, maka tindakan Amak Shinta tidak lagi termasuk dalam kategori alasan pembenar, tetapi masuk pada katagori Noodweer Exses yang mengandung unsur alasan pemaaf.

Pembelaan yang melampaui batas (noodweer exces), menurut Andi Hamzah, ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lainnya, akan tindakan seorang dianggap melampaui batas karena melakukan pembunuhan atau pengeniayaan terhadap orang yang sudah tidak berdaya (perampok/begal) yang sudah tidak berdaya, maka tindakan seperti ini dianggap sebagai Noodweer Exces yang bisa dilakukan penyidikan dan dipersangkakan melakukan perbuatan pidana. Akan tetapi tindakan pidana ini mengandung alasan pemaaf yang akan menghapus pidananya oleh majelis hakim yang menyidangkan.

Kesimpuannya, jika fakta fakta hukum yang ditemukan oleh kepolisian Lombok Tengah tentang adanya noodweer exces, maka tindakan Kepolisian Lombok Tengah yang tetap melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut dapat dibenarkan secara ilmu hukum pidana.

Hanya saja demi menjaga kondusifitas dan keadilan sosiologis, maka penyidikan atas Amak Shinta yang diduga melakukan tindak pidana yang mengandung noodweer exces perlu dilakukan dengan memperhatikan kemanfataannya. Artinya jika penyidikan dan penyidangan Amak Shinta akan membawa ekses yang lebih luas, maka menurut Teori Jeremy Bentham ( Utility Theori), sebaiknya kasus ini dihentikan.

Akan tetapi jika pendekatan Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui Teori Hans Kelsen, maka dapat saja kasus Amak Shinta tetap dilanjutkan, akan tetapi Amak Shinta tidak perlu dilakukan penahanan.***

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
beritaTerkait
Depot Medan Group dan Elnusa Lamban, SPBU Kehabisan StoK
Reza Fahlevi SH.MH : Pemerintah Daerah Bila Perlu Turun Tangan
PD AMPG Sumut Ucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H, Momentum Refleksi dan kebangkitan Generasi Muda Golkar
KPPU Sidangkan Perkara Tender Pemeliharaan Mesin Induk MTU Di Bea Cukai
Dukung Peningkatan Pendidikan, PLN Gelar Pelatihan Jurnalistik kepada Himpunan Mahasiswa Listrik Kota Medan
Pemkab Asahan Serius Tekan Stunting dan Perkuat Ketahanan Pangan, Temui Stafsus Presiden & BKKBN
komentar
beritaTerbaru