Jumat, 27 Juni 2025

Ketua DKM : Tingkatkan Kreatifitas Lewat Website

Administrator - Kamis, 25 Agustus 2016 06:14 WIB
Ketua DKM : Tingkatkan Kreatifitas Lewat Website

MEDAN | SUMUT24

Baca Juga:

Kini website bagi para pecinta sastra telah diluncurkan. Untuk itu, Ketua Dewan Kesenian Medan (DKM), Rianto Ahgly SH, berharap dengan diluncurkannya website “sastramedan.com” ini semoga para pecinta sastra di Medan bisa dapat menambah kreatifitasnya sekaligus bisa mengekspresikan karyanya lewat web ini. Hal ini dikatakannya saat membuka acara Launching Website “satramedan.com” & Bedah Buku “Senjakala Kritik Sastra, yang digelar di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Selasa (24/8). Acara ini juga dihadiri para seniman medan dan puluhan mahasiswa yang ada di Medan.

“Kita menyambut baik apa yang telah dilakukan para seniman sastra tersebut, dengan begini tentunya akan mengangkat dan menambah nilai seni masyarakat Sumut, khusunya Medan. Tak hanya itu, peluncuran website dan bedah buku tersebut juga dapat menambah wawasan bagi para seniman kita apalagi dilakangan pemuda,” katanya.

Dalam acara bedah buku tersebut menghadirkan YS Rat dan Tiflatul Husna sebagai narasumber. YS Rat menyebut bahwa kritikus sastra harus lancang yang berani mengungkap -untuk tujuan ke depan menjadi lebih baik- ketidakmengertian sastrawan terhadap teks di dalam karyanya. Sedangkan Tiflatul menilai bahwa penulis buku Senjakala Kritik Satra berhasil memberikan kritik yang bernas sehingga dapat merawat budaya dalam karya.

Sementara itu, Yulhasni selaku pengarang buku sastra tersebut mengatakan buku ini merangkum esai-esai yang lahir dari paradigma sentralistik dalam menakar pencapaian estetika kepengarangan, kritik sastra juga politik sastra yang lahir dari berbagai fakta.

Sebuah bentuk pendokumentasian polemik sastra dalam waktu yang cukup lama sehingga tercipta kumpulan-kumpulan esai yang berbau kearifan lokal. Kumpulan esai ini telah terbit di harian Analisa dan Waspada.

“Dalam buku ini terdapat 34 judul esai, diantaranya Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik!, Ketidakjelasan Arah Sastra Kita, Komunitas Sastra di Sumut; Mobilisasi Karya dan Mobilisasi Massa tanpa Ide Baru, Kritik Sastra (Lokal), Benarkah di Menara Gading, Kritik Sastra Indonesia Mutakhir: Apa Ada dan Ada Apa?, Mengelola Portal Sastra Secara Profesional, Makin Tak Jelas Penghargaan untuk Sastra di Sumut, Jangan Alergi dengan Kritik Sastra, dan lainnya,” katanya.

Pada esai Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik! pengarang ingin memberikan pandangan bahwa setiap pertumbuhan dan perkembangan kreativitas sastra harus memperlihatkan konsep dan genre yang ditawarkan, seperti mengikutsertakan tema-tema politik yang diketengahkan. Pengarang menuliskan bahwa sastra tidak terbebas dari realitas politik. Karena genre politik sebagai bentuk kreativitas memberi peluang tersendiri bagi sastrawan.

Secara keseluruhannya, pengarang mengajak pembaca agar turut serta merealisasikan kiblat sastra yang tidak hanya sebatas teks, akan tetapi dilengkapi dengan tindakan yang nyata khususnya Sumut dalam menghadapi kekeliruan pengarang terhadap karyanya.

Dijelaskannya, sekarang ini bisa dikatakan hampir tidak ada tulisan kritik sastra. Dia sepakat dengan pernyataan seniman YS Rat yang menyebut kritikus sastra harus lancang. “Jadi memang kalo saya yang nulis kritik sastranya, mereka “gak suka”. Tapi memang seperti itu lah kritik sastra gayaku. Ini sebagai sumbangan untuk literatur. Banyak yang mau meneliti sastra di sini kan susah mencari literatur,” katanya.

Di dalam tulisannya, dia menyampaikan literatur teori-teori baru yang berkembang, bukan hanya teori-teori lama. Namun ternyata, ternyata teori-teori baru itu kurang berkembang di perkuliahan. Di perguruan tinggi dinilai lemah dalam menerima menerapkan metode dan teori baru.

“Banyak dosen-dosen yang masih menyampaikan teori-teori lama sementara ilmu sosial ini kan terus berkembang. Di lapangan sudah menggunakan teori post kolonial, sementara di kampus masih menggunakan teori-teori struktural,” katanya.

Dia juga mengkritik karena Sumut selalu terlambat dalam menerima dan menerapkan teori-teori baru di bidang sastra. “Disayangkan karena perguruan tinggi justru kurang mengembangkannya. Makanya judul bukunya Senjakala, artinya kan sesuatu yang ditunggu-tunggu tapi tak muncul-muncul,” urainya.

Padahal, lanjutnya, karya sastra di Sumut ini berkembang bagus. Tapi, karya sastra itu dibilang bagus kalau ada genre baru atau terobosan baru. Misalnya ketika ada Chairil Anwar, Sutardji (Calzoum) muncul, ada genre baru. “Sumut sebenarnya kan banyak tapi seperti tenggelam. Masih terjadi dikotomi pusat dan daerah. Kenapa harus mengatakan Jakarta paling hebat. Jangan seolah-olah kalau sudah berkarya di Jakarta berarti lebih hebat. Gak bisa seperti itu. Kita punya otonomi sendiri dalam berkarya. Karena sastra kita kuat,” katanya. (w07)

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
beritaTerkait
Depot Medan Group dan Elnusa Lamban, SPBU Kehabisan StoK
PD AMPG Sumut Ucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H, Momentum Refleksi dan kebangkitan Generasi Muda Golkar
KPPU Sidangkan Perkara Tender Pemeliharaan Mesin Induk MTU Di Bea Cukai
Dukung Peningkatan Pendidikan, PLN Gelar Pelatihan Jurnalistik kepada Himpunan Mahasiswa Listrik Kota Medan
Pemkab Asahan Serius Tekan Stunting dan Perkuat Ketahanan Pangan, Temui Stafsus Presiden & BKKBN
Sat Res Narkoba Polres Asahan Bekuk Pengedar Sabu di Air Joman
komentar
beritaTerbaru