
BUMD Deli Serdang Resmikan Bhinneka Mart, Dukung Pangan Murah dan UMKM Lokal
BUMD Deli Serdang Resmikan Bhinneka Mart, Dukung Pangan Murah dan UMKM Lokal
kotaBaca Juga:
Isu "food tray" Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diduga mengandung minyak babi dalam proses produksinya telah memantik keresahan publik.
Ada yang berargumen, "Tenang saja, menurut pendapat salah sebagian ulama, benda keras yang terkena najis babi bisa dicuci hingga suci."
Namun, benarkah sesederhana itu? Bagaimana sebenarnya fikih Islam, khususnya mazhab Syafi'i yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, memandang persoalan ini?
Pertama-tama, mari luruskan. Jika sebuah benda keras hanya terkena najis babi di permukaan, maka benar, cukup dicuci hingga hilang sifat najisnya: bau, rasa, warna.
Tetapi kasus "food tray" berbeda. Menurut laporan, minyak babi digunakan dalam "proses finishing" produk, artinya menyatu dengan material tray itu sendiri. Ia bukan sekadar "terkena", melainkan "menjadi bagian dari benda".
Inilah yang membuat masalahnya serius.
Imam al-Nawawi dalam al-Majmū' menegaskan prinsip penting dalam hukum najis: apabila suatu najis bercampur dengan benda lain hingga menyatu dan tidak mungkin lagi dipisahkan, maka seluruh benda itu dihukumi najis. Kaidah ini menunjukkan bahwa najis tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang menempel di permukaan, tetapi juga sebagai zat yang dapat meresap atau melebur ke dalam suatu benda.
Dengan demikian, hukum tidak berhenti pada aspek luar, melainkan mencakup keseluruhan substansi benda tersebut.
Mayoritas ulama Syafi'i dan Hanbali secara tegas mengkategorikan babi sebagai najis mughallazhah—najis tingkat berat yang tidak bisa ditoleransi. Konsekuensinya, ketika unsur babi, baik daging, lemak, maupun minyaknya, telah menjadi bagian dari suatu produk, status najisnya melekat dan tidak bisa hilang hanya dengan proses pencucian atau pembersihan.
Proses pencucian hanya berlaku efektif untuk najis yang masih berada di permukaan, bukan untuk zat yang telah menyatu dalam struktur benda.
Jika dikaitkan dengan kasus "food tray" yang menggunakan minyak babi dalam tahap finishing atau proses akhir pencetakan, maka jelas masalahnya bukan sekadar benda terkena najis, melainkan benda yang najis itu sendiri. Produk seperti ini, meskipun secara fisik tampak bersih, tetap dihukumi najis dan tidak layak dipakai untuk makanan. Menggunakannya berarti menimbulkan keraguan bahkan potensi pelanggaran terhadap prinsip kesucian yang dijaga Islam. Dalam konteks masyarakat Muslim, hal ini bukan hanya masalah fikih individual, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap program makanan halal dan bergizi.
Mazhab Hanafi dan Maliki dikenal lebih longgar dalam sebagian masalah najis karena mereka menerima konsep "istihalah"—perubahan hakikat zat. Menurut pandangan mereka, bila sesuatu yang najis benar-benar berubah total menjadi zat baru yang tidak lagi memiliki sifat-sifat asalnya, maka status najisnya hilang. Contoh yang sering disebut adalah khamr yang berubah menjadi cuka secara alami; meskipun asalnya haram, hasil akhirnya dihukumi suci dan halal. Pandangan ini memberi ruang bagi perdebatan dalam kasus modern seperti penggunaan turunan babi dalam industri pangan dan nonpangan.
Namun, pertanyaan krusial muncul: apakah dalam proses finishing "food tray" terjadi "istihalah" sempurna? Apakah minyak babi benar-benar mengalami transformasi kimia yang menghapus identitas asalnya, ataukah hanya melebur sebagai bahan tambahan yang masih mempertahankan sifat zat najis? Jika hanya terjadi peleburan tanpa transformasi hakiki, maka menurut mayoritas ulama, statusnya tetap najis. Artinya, klaim suci tidak bisa serta-merta dibenarkan hanya karena bentuk fisik najisnya tak lagi terlihat.
Dalam konteks sosial dan keagamaan, prinsip kehati-hatian harus diutamakan. Umat Islam berhak untuk menolak produk yang menimbulkan keraguan, apalagi jika berkaitan dengan najis mughallazhah seperti babi. Nabi ﷺ bersabda: "Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu." (HR. Tirmidzi).
Oleh karena itu, meskipun secara teoretis mazhab Hanafi dan Maliki memberi celah lewat konsep "istihalah", penerapannya dalam kasus "food tray" tetap sulit diterima tanpa bukti ilmiah yang jelas. Sikap waspada inilah yang lebih sesuai dengan tuntunan syariat dan menjaga kepercayaan publik terhadap standar halal.
Fikih kewaspadaan atau kehati-hatian (Ihtiyathi) menekankan bahwa persoalan halal-haram tidak semata dilihat dari ada atau tidaknya dalil hukum, tetapi juga dari dampak sosial dan spiritual yang ditimbulkan. Islam mengajarkan agar umatnya hidup dengan penuh kehormatan, menjaga diri dari yang syubhat, dan tidak mengabaikan keresahan masyarakat. Kesucian makanan dan peralatan makan bukan hanya soal fisik, melainkan menyangkut keyakinan batin. Dari makanan yang halal dan bersih lahir ketenangan hati, kekuatan doa, dan keberkahan hidup.
Dalam kehidupan modern, banyak hal tampak sepele namun justru menyentuh jantung kepercayaan publik. Sebuah nampan plastik, misalnya, mungkin hanya dipandang sebagai benda biasa. Tetapi ketika ada dugaan ia diproduksi dengan bahan najis seperti minyak babi, ia langsung menjadi simbol dari masalah kehalalan dan tanggung jawab moral. Rasa ragu yang muncul bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap produsen, pemerintah, bahkan lembaga agama jika dianggap abai dalam menjamin kesucian produk.
Karena itu, dalam perkara halal-haram, prinsip kehati-hatian menjadi pilihan paling aman. Nabi ﷺ sudah mengingatkan agar meninggalkan perkara yang meragukan dan memilih yang jelas-jelas suci dan halal. Sikap ini tidak hanya melindungi diri dari potensi dosa, tetapi juga menjaga kehormatan umat. Dengan menjadikan fikih kewaspadaan sebagai pijakan, umat Islam tidak sekadar menghindari najis, tetapi juga menjaga keberkahan, rasa percaya, dan martabat agama dalam kehidupan sehari-hari.
Keputusan yang arif dalam menghadapi persoalan halal-haram bukanlah sekadar mencari pembenaran hukum atau celah fatwa yang bisa meringankan. Lebih dari itu, ia harus berlandaskan prinsip kehati-hatian (ihtiyath) agar tidak menjerumuskan umat pada keraguan. Dalam konteks "food tray" yang diduga mengandung minyak babi, pilihan paling aman adalah menolak penggunaannya. Bukan karena umat Islam ingin mempersulit diri, melainkan karena menjaga kesucian menjadi bagian dari ibadah dan kehormatan.
Tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak individu Muslim, tetapi juga melekat pada pemerintah dan produsen.
Setiap produk yang masuk ke program publik, apalagi menyentuh kebutuhan dasar seperti makanan, harus dijamin bebas dari najis dan syubhat. Sebab, makanan bukan sekadar pemenuhan gizi, tetapi juga sarana menjaga keberkahan hidup masyarakat. Jika ada kelalaian dalam hal ini, maka yang dirusak bukan hanya aspek kesehatan, melainkan juga kepercayaan dan ketenangan batin umat.
Islam mengajarkan bahwa sekadar "tidak haram" belum cukup. Kita dituntut mencari yang halal lagi baik, yang memberi manfaat sekaligus membawa keberkahan. Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik." (HR. Muslim).
Maka, sikap arif adalah memastikan setiap produk publik tidak hanya lolos uji teknis dan ekonomis, tetapi juga memenuhi standar spiritual yang menjamin keberkahan bagi seluruh masyarakat.
Dengan begitu, kebijakan negara sejalan dengan nilai-nilai agama dan menumbuhkan rasa aman serta percaya di tengah umat.
*Penulis adalah Direktur Halal Center Algebra.*
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google NewsBUMD Deli Serdang Resmikan Bhinneka Mart, Dukung Pangan Murah dan UMKM Lokal
kotaMedan sumut24.co Dewan Pimpinan Cabang Aliansi Wartawan Indonesia (DPC AWI) Kota Medan minta pihak instansi terkait agar memeriksa penggun
kota2 Pemotor Berjaket Ojol Beraksi Modus Kaca Tabrakan, Digebuki Warga
kotaSemarak Festival 5 Danau Resmi Dimulai, Lomba Jingle 5 Danau Jadi Ajang Kreativitas dan Promosi Wisata Solok
kotaWakil Bupati Solok Serahkan Bantuan makan Balita Bersama Anggota DPDRI Muslim Yatim
kotaSekda Kabupaten Solok Terima Kunjungan PGRI dan Dewan Pendidikan, Bahas Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan
kotaHangat&Sportif, Laga Persahabatan Antara Kejati Sumatera Utara Dengan Pimpinan Redaksi Media
kotasumut24.co MEDAN, Ribuan peserta dari mahasiswa, guru, dosen dan kepala sekolah antusias mengikuti Peluncuran dan Bedah Buku Membangun Nege
kotasumut24.co TOBA, Saat mendampingi Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan ketika meninjau Taman Sains Teknologi Herbal dan Hort
NewsFood Tray MBG, Menguji Komitmen Halal Kita
kota