Medan-SUMUT24
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan, Saut Situmorang mengatakan, KPK terus memantau tiga provinsi yakni Sumatera Utara (Sumut), Banten dan Riau karena tingginya angka korupsi.
“Tiga provinsi itu terus terang kami pantau. Sumut, saya berharap cukup dua gubernur yang ditangkap KPK,” kata Saut di Medan, Rabu (30/3), saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk Pencegahan Dini Terhadap Korupsi diprakarsai Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) Sumut, di Gedung Binagraha Jalan Pangeran Diponegoro, Medan, Rabu (30/3).
Menurut Saut, Sumut misalnya dua gubernurnya secara berturut-turut jadi tersangka korupsi, begitu juga Riau. Adapun Banten, sejak Gubernur Ratu Atut dan adiknya ditangkap KPK, pengembangan kasus korupsi Banten terus didalami.
Menurut Saut, provinsi yang pejabatnya banyak tertangkap karena kasus korupsi menyebabkan indeks pemberantasan korupsi Indonesia jadi rendah. “Jangan dikira perilaku korupsi pejabat daerah tak menyebabkan indeks pemberantasan korupsi kita rendah. Kalau gubernur, bupati atau walikota ditangkap karena korupsi itu dipantau oleh negara luar,” tegas Saut.
Saut meminta Sumut jadi pelopor pemberantasan korupsi karena berbagai kasus yang menjerat pejabat Sumut. “Saya titip, Sumut harus bangkit dan bersih dari korupsi,” pinta Saut.
KPK Bungkam Soal Suap Interplasi
Pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Basariah Panjaitan dan Saut Situmorang pilih bungkam saat ditanyakan terkait kasus penyidikan suap Interplasi.
Salah seorang Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, tidak mau banyak komentar terkait kasus suap interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut) yang saat ini telah masuk dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Saya tidak mau bicara dalam hal penindakan,” ujar Saut usai seminar.
“KPK tidak bicara kasus, sebab ini fokus seminar untuk pencerahan bagi masyarakat terhadap pencegahaan dan pemberantasan korupsi,” timpal Basariah.
Dalam penanganan kasus yang dikenal uang ketok tersebut, KPK telah menetapkan Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan lima pimpinan DPRD Sumut menjadi tersangka.
Dalam kasus tersebut KPK telah memeriksa ratusan pejabat sebagai pemberi dan penerima uang ketok dari kalangan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 serta para pejabat Pemprovsu.
Ada Uang Ketok Sahkan APBD
Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara, Ir HT Erry Nuradi menyebut jika pemberian ‘uang ketok’ untuk pengesahan APBD sudah biasa dilakukan. “Masalah uang ketok ini sudah menjadi rahasia umum,” ujar Erry.
Walau mengakui jika ‘uang ketok’ merupakan rahasia umum, namun Erry menyatakan tidak pernah memberikan uang ketok untuk pengesahan APBD Sumatera Utara tahun anggaran 2016 lalu.
“Saya baru menjadi Pelaksana tugas Gubernur pada Agustus 2015, dan baru berhadapan dengan DPRD berkaitan dengan APBD baru sekali pada akhir 2015 lalu. Jadi silahkan tanya apakah kami ada memberi uang,” ujar Erry seraya menyebut sikap yang dilakukannya tersebut harus menjadi contoh. “Jadi hal seperti itu harus kita dukung bersama, tidak ada lagi uang-uang ketok untuk ke depannya,” tegas Erry Nuradi.
Plt Gubsu Ir H T Erry Nuradi MSi menegaskan, korupsi itu merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang dampaknya sangat luas bagi sendi kehidupan negara dan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap negara.
HT Erry mengajak semua pihak untuk bersama-sama mencegah secara dini terhadap korupsi yang dimulai dari sendiri. Karena pencegahan terhadap korupsi bukan hanya masalah KPK, Kepolisian, Kejaksaan tetapi merupakan masalah kita semua.
Dicontohkanya dari kurang lebih 15 juta jiwa jumlah penduduk Sumatera Utara hanya 150 ribu orang yang punya NPWP. Sementara penerimaan negara kita 80 persen dari pajak. Tanpa kita sadari sebenarnya masyarakat yang tidak membayar pajak telah melakukan praktek korupsi.
Dikatakannya, untuk mengubah pemikiran bahwa korupsi itu telah membudaya di negara kita perlu adanya revolusi mental yang dimulai dari diri kita sendiri. Khususnya Sumatera Utara lanjutnya, diharapkan istilah SUMUT semua urusan mesti uang tunai harus diganti semua urusan mesti tuntas.
“Kita rubah pemikiran kita. Kita mulai dari kita sendiri. Mudah-mudahan pencegahan terhadap korupsi itu dapat kita laksanakan dan negara kita ini akan lebih baik,” sebut Plt Gubsu.
Sementara Ketua Panitia Pelaksana Gandi Parapat mengatakan, seminar ini dilakukan karena selama ini ada anggapan bahwa Sumtera Utara itu identik dengan koruptor. Oleh karenanya pihaknya mengundang beberapa narasumber dari kepolisian dan kejaksaan dan juga menghadirkan 2 orang pimpinan KPK.
Poldasu Dukung Hukuman Mati Koruptor
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dir Reskrimsus) Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Ahmad Haydar menyebut ancaman hukuman kurungan bagi pelaku tindak pidana korupsi sangat mempengaruhi tingkat korupsi yang ada di Indonesia. Haydar berpendapat, di Indonesia, belum ada hukuman mati bagi pelaku korupsi.
“Sekarang ini, korupsi sudah dianggap lumrah. Sama halnya dengan narkoba. Orang tidak lagi merasa malu, dan tidak lagi merasa takut,” kata Haydar dalam kegiatan Pencegahan Dini Terhadap Korupsi, kemarin.
Menurut Haydar, sudah selayaknya di Indonesia ini diterapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Kata dia, hukuman mati dapat menimbulkan efek jera dan menghindari orang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
“Bagaimana korupsi ini bisa dicegah. Misalnya, ada kasus korupsi yang bombastis, tetapi tidak ada hukuman mati. Ancaman hukuman ini sebenarnya sangat mempengaruhi,” kata Haydar. (Ism)