Medan|SUMUT24
Harga minyak dunia yang terus turun sejak awal tahun diprediksi bakal menekan kinerja industri berbasis komododitas sumber daya alam seperti sawit dan karet. Bisnis ini diprediksi bakal sulit tumbuh tahun ini.
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut Laksamana Adiyaksa mengungkapkan, rendahnya harga minyak dunia tersebut bakal menyeret harga komoditas akibat lemahnya permintaan dari negara-negara konsumen. “Apalagi banyak produk substitusi yang bisa dihasilkan dari minyak bumi,” katanya, Selasa (26/1).
Dia mencontohkan dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Eropa, Amerika dan Asia mulai banyak menggunakan bahan bakar nabati untuk kebutuhan industri otomotif. Lemahnya harga minyak dipastikan bakal banyak konsumen yang mengalihkan konsumsi ke minyak bumi ketimbang minyak nabati.
Akibatnya, permintaan terhadap CPO yang merupakan bahan bakar nabati terjadi penurunan. Penurunan permintaan tersebut akan direspon pasar dengan menurunkan harga komoditas. Tak pelak, keadaan tersebut membuat kinerja indutsri sawit dalam negeri kembali tertekan, begitu juga dengan kinerja ekspor.
Hal serupa juga terjadi pada industri karet. Minyak bumi sendiri merupakan bahan baku pembuatan karet sintetis, sehingga dengan turunnya harga minyak bakal mengerek produksi karet sintetis. Harga karet sintetis yang beredar di pasaran akan lebih murah. Permintaan terhadap karet alam pun bakal terpangkas.
Anjloknya kinerja industri karet tersebut akan sangat berdampak pada kehidupan petani karet, khususnya yang beroperasi di Sumut. Pasalnya, dalam tiga tahun terakhir harga karet terus dalam tekanan dan memaksa petani untuk mencari alternatif sumber penghasilan yang lain. “Jika hal ini terus berlangsung lama, maka akan semakin banyak kebun karet yang ditinggalkan petani,” katanya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut Ivan Iskandar Batubara mengungkapkan tantangan dunia usaha tahun ini akan sangat berat akibat penurunan harga minyak tersebut. Apalagi, sektor usaha yang paling dominan di Sumut berbasis sawit dan karet. “Ini bisa berdampak pada perlambatan ekonomi,” katanya.
Menurut dia, tekanan terhadap bisnis komoditas tersebut tak terlepas dari industri lokal yang kerap mengekspor bahan baku. Sebagian besar CPO dan karet yang dilempar ke pasar ekspor merupakan bahan baku untuk kebutuhan industri di luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan sektor tersebut sangat rentan dengan penurunan harga minyak.
Berbeda halnya jika Sumut lebih banyak menjual produk turunan dari dua komoditas tersebut. Dampak penurunan harga minyak tentu tak akan sesignifikan seperti yang terjadi saat ini.
Satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggenjot perkembangan industri hilir di tanah air. Selain akan meningkatkan penyerapan di pasar lokal, industri tersebut juga akan menghasilkan produk-produk yang lebih bernilai ekonomi ketimbang mengekspor bahan baku.
Sebagai catatan, saat ini harga CPO di pasar internasional masih bertengger di level US$ 555 per ton, sedangkan harga karet masih di level US$ 1,1 per kg. Pemerintah dan pengusaha dipastikan bakal kesulitan mencapai target harga CPO di level US$ 600 pada kuartal I tahun ini. Begitu juga dengan karet yang kesulitan menembus angka normal US$ 2,5 per kg akibat lemahnya harga minyak. (net)