BI Sumut Desak Pemerintah Tingkatkan Kapasitas CPO

MEDAN | SUMUT24
Bank Indonesia (BI) Sumatera Utara (Sumut) mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan kapasitas domestik khususnya crude palm oil (CPO) melalui hilirisasi mengingat perlambatan ekonomi masih terjadi pada negara-negara pengimpor utama komoditas tersebut.

Pimpinan BI Sumut, Difi A Johansyah mengatakan, urgensi peningkatan kapasitas domestik melalui hilirisasi CPO semakin tinggi terutama di Sumut sebagai salah satu pemasok utama komoditas ini didunia. Sebab kemungkinan menurunnya permintaan global sangat besar terjadi mengingat tiga negara pengimpor akan mengalami perlambatan ekonomi.

“Prancis, India dan Tiongkok masih akan mengalami perlambatan ekonomi sehingga mereka perlu memperkuat pasar domestik sendiri dengan mengeluarkan kebijakan yang justru akan menjadi penghambat bagi kita melakukan ekspor. Pada umumnya negara-negara tersebut melakukan proteksi industri dalam negeri dengan menaikkan bea impor minyak sawit maupun kebijakan subsidi. Padahal ekspor CPO ke tiga negara itu mencapai 30% dari total ekspor,” katanya di Medan, Selasa (8/3).

Pajak progresif CPO di Prancis akan mencapai 300 euro per ton pada 2017, 500 euro per ton pada 2018, 700 euro pada 2019 dan terus naik menjadi 900 euro per ton pada 2020. Sedangkan minyak kernel untuk produk makanan akan dikenakan bea tambahan 4,6% dengan tujuan memberikan perlindungan industri minyak kanola, bunga matahari dan kedelai yang diproduksi di Prancis.

Begitu juga dengan pemerintah India, setelah pada Januari 2015 menaikkan tarif bea masuk impor minyak sawit dari 2,5% menjadi 7,5% untuk CPO sementara untuk refined oil ditingkatkan dari 10% menjadi 15%, negara yang merupakan daerah penghasil kopra ini terus mengupayakan penyerapan kopra untuk kepentingan domestik dengan menaikkan harga pembelian kopra dan pengembangan biodiesel berbasis kopra. “Dengan begitu impor sawit akan semakin dikurangi,” ujarnya.

Kemudian satu lagi dari negara Tiongkok. Negara satu ini juga memberlakukan tarif impor CPO sebesar 9%. Dukungan penuh industri domestik juga terus diberikan terutama kepada petani kedelai dan kanola sebagai salah satu produk unggulan Tiongkok yang sempat terimbas dampak El Nino pada 2015 dengan kredit murah dan subsidi harga. “Kebijakan-kebijakan tersebut jelas menjadi tantangan bagi kita terutama Sumut sebagai salah satu pemasok CPO utama dunia. Sudah saat sekarang pemerintah memikirkan meningkatkan kapasitas domestik daripada hanya mengekspor,” ucapnya.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Timbas Prasad Ginting mengatakan, sejak dulu persoalan hilirisasi memang terus disampaikan pemerintah namun hingga sekarang belum ada langkah konkrit yang dilakukan. Bahkan perbaikan infrastruktur jalan akses menuju ke perkebunan saja masih minim. “Selain infrastruktur, persoalan penyerapan pasar domestik juga tentu harus diperhitungkan. Tapi jika saja ada kemudahan dari pemerintah, hal tersebut tidak akan menjadi masalah,” katanya.

Akibat minimnya kemampuan di dalam negeri, Timbas menilai hal tersebut seringkali menjadi andalan bagi negara pengimpor untuk mengotak-atik ekspor dalam negeri. Salah satu hal yang paling sering dilakukan adalah kampanye hitam. “Jika satu negara sudah melakukan kampanye hitam dikhawatirkan diikuti negara lain untuk melakukan hal serupa sehingga mengancam industri sawit dalam negeri,” pungkasnya.(nis)